Tuesday, October 3, 2023

Perang Ilmu ghaib by mpu wesi Geni

Mengapa diterbitkan
TULISAN dari hasil penyelidikan dan renungan Mpu Wesi Geni ini digubah dalam bentuk sebuah kisah yang mengetengahkan dunia yang kita huni dan dunia abadi yang kelak akan menjadi tempat terakhir bagi kita semua.
Dunia abadi merupakan rekaan penggubah berdasarkan segala perbuatan manusia di atas bumi. Amal sesuai ajaran semua agama atau makar yang jelas-jelas dilarang, karena menimbulkan kekacauan, rasa sakit dan aneka ragam penderitaan sesama hamba Allah.
Diuraikan pula tentang adanya dua macam hukuman bagi mereka yang tidak takut akan larangan Tuhan : siksa kubur dan siksa akhirat.
Semoga buku ini tidak sekedar merupakan bacaan mengikat, tetapi terutama dapat menjadi renungan bagi sesiapa mau merenungkan dan dapat menarik butir butir yang berfaedah daripadanya.
Sedikit mengenai Penggubah
MPU Wesi Geni memulai kariernya sebagai penulis dengan mengarang cerpen-cerpen, banyak dimuat oleh majalah "Senang."
Sebelum itu " dan kini " ia banyak bertualang dari satu ke lain pulau. Termasuk pengembaraan di hutan-hutan lebat untuk mencobakan ilmu pawang yang penah dituntutnya. Membuat binatang buas seperti harimau, ular raksasa dan gajah menghindar atau tidak akan mengganggu.
Dalam bertualang Mpu Wesi Geni juga menyelidiki apa yang dinamakan ilmu gaib dan kebatinan. Untuk itu ia mengunjungi dan di mana mungkin menuntut ilmu dari orang-orang berkebolehan khusus itu. Banyak anggota masyarakat masih tidak percaya atau meragukan kebenaran ilmu-ilmu ini. Ilmu ini diperdalam oleh Mpu Wesi Geni, sehingga ia sekarang " menurut keterangannya " sudah kian menguasai rahasia yang berkaitan dengan kebatinan dan kegaiban.
Penggubah buku ini kini sering menyepi di pantai Selatan dan Utara Pulau Jawa, di sekitar Pemalang dan Pelabuhan Ratu.
ADA pameo orang mengatakan "what is a name?"
Apalah arti sebuah nama. Sampai ke mana pengaruh sebuah nama terhadap manusia, terhadap pulau, belum ada hasil riset yang menentukannya. Mungkin karena termasuk inkon-vensionologi yang hasil risetnya untung-untungan dan tak ada pula yang mau mengumpulkan data-data tentang pengaruh sebuah nama terhadap seseorang.
Umpamanya nama Syeh Siti Jenar, mengapa maknanya harus "CACING" Dan Wesi Geni, mengapa harus berarti BESI API" Sesungguhnya, adakalanya nama mendukung sebuah misi spiritual alam gaib.
Demikian pula dengan nama Mastery. Entah apa alasan orang tuanya, yang ketika ia masih remaja sudah meninggal, memberikan nama itu kepadanya. Akan tetapi yang pasti, nama itu tidak ke Barat dan tidak pula ke Timur.
Bisa juga terpotong menjadi dua bagian, yakni Mas dan Tery. Tery atau teri bisa diartikan sebagai ikan kecil yang bentuknya tidak berarti.
Sejak masa kanak-kanaknya Mastery telah menunjukkan hal-hal yang aneh. Di kota kecil tempat ia tinggal, pernah lepas seekor kerbau liar yang baru dijerat dari dalam hutan belantara. Kerbau seperti itu biasanya matanya ditutup dengan tikar tua yang dilipat-lipat. Tak tahu mengapa harus dengan tikar. Mungkin karena radiasi tempat duduk manusia itu dapat menjinakkan ternak yang masih liar. Dan mengapa pula tali hidung kerbau seperti ini harus dari tali ijuk yang panjangnya sedepa, hanya pawang hutan pula yang tahu kekuatan dan magis yang terkandung di dalamnya.
Dapat dibayangkan betapa ributnya pasar kota kecil itu begitu mengetahui ada kerbau liar mengamuk dengan tali hidungnya sudah lepas. Dan tikar penutup matanya, sebahagian sudah koyak. Sehingga ia menyerang apa saja, sampai ke benda-benda yang hampir tidak bergerak sekalipun.
Orang yang sedang berjalan, dan ibu-ibu yang sedang berbelanja, merasa tanduk kerbau itu telah mengancam mereka dari belakang.
Kata orang, "Tanpa tali di hidung, binatang itu tidak dapat dikendalikan!" Mastery yang pada waktu itu masih berumur sekitar 11 tahun, menjawab, "Aku dapat memasukkan tali ke hidung kerbau itu!"
Sekelompok laki-laki dewasa yang meninggalkan kedai dan jualannya, memandang Mastery dengan mata kosong.
Bahkan ada yang dengan tersenyum sinis.
Pak Hamid yang menegur, "Apa kau mau mati!"
"Betul, Pak." ucap Mastery lagi, "kalau saya bisa, saya dikasih hadiah apa?" Ketika itu ayah Mastery masih hidup.
Juga ikut memandang anaknya dari atas ke bawah.
Berakhir pada mata anaknya. Terpancar sinar bersungguh-sungguh dari mata bocah itu. Dan orang tua Mastery, tidak berkata apa-apa mengenai kehendak anaknya itu. Sampai Syahbandar yang punya kerbau itu meminta izin kepada Abdul Bahrum, ayah Mastery.
"Terserah saja, asal anak saya tidak cedera!" Sebagai jaminan, seorang polisi yang mahir menembak, mengawasi kerbau itu. Jika Mastery terancam, Syahbandar pun rela kerbau itu ditembak. Mastery meminta kepada orang banyak yang agak berani, untuk menghalau. kerbau liar itu masuk ke sebuah kandang. Yang terdiri dari pagar bambu bulat yang tingginya sedada orang dewasa. Dengan susah
payah dan ribut sekali akhirnya kerbau itu dapat juga dihalau ke pintu masuk kandang. Sekitar sepuluh orang dewasa yang berhasil, terperangah setelah selesai melakukan pekerjaan yang hampir sama dengan bunuh diri itu.
"Jangan kasih rumput sampai sore!" pinta Mastery.
Sungguhpun tak tahu apa maksud dan kegunaan permintaan itu, kehendak Mastery dilaksanakan. Kerbau liar itu tidak diberi rumput dari tengah hari sampai sorenya.
Yang mula-mula dilakukan Mastery ialah membuka baju kausnya. Dan melemparkan baju itu tepat menyangkut sebagian pada serabut tikar penutup mata kerbau tadi.
Serat-serat tikar tua membuat baju kaus itu menempel.
Kemudian kerbau itu dipancingnya ke sudut kandang dengan segumpal rumput segar. Sehingga binatang itu melangkah ke sudut, mulai memakan rumput yang hanya sedikit. Pada sisi yang lain dibelakangnya ditumpahkan dua goni rumput segar. Mastery lalu memasukkan badannya yang kecil ke bawah jerejak pagar sebelah bawah, sehingga berada dalam tumpukan rumput yang cukup tinggi. Entah apa yang dikerjakannya di dalam tumpukan itu. Kerbau yang masih lapar setelah menghabiskan rumput yang sedikit di sudut pagar, menuju tumpukan rumput yang banyak. Setelah matanya mengawasi tumpukan itu dari sobekan tikar, Mastery diam tak bergerak di bawah rumput.
Ketika binatang itu mulai makan, kelihatan rumput bergerak-gerak bukan karena sekedar tertarik oleh mulutnya, tetapi juga oleh si Mastery yang sedang memperbaiki sikapnya di dalam tumpukan rumput. Dengan tiba-tiba kerbau itu terkejut. Dan Mastery cepat menarik dirinya ke luar pagar.
"Tali hidungnya sudah tertusuk!" teriak Mastery, "cepat ikat, jangan sampai lepas lagi!" Orang melihat, bahwa tali
ijuk memang telah melalui lubang hidung binatang itu.
Sampai lima depa di kiri-kanan lubang hidungnya. Melihat kejadian itu, Mat Madun yang cepat gerak refleksnya, lantas menjambak kedua tali itu dari luar pagar. Membubui dan kemudian menariknya sehingga simpul tali itu kini terpasang tepat di depan hidung binatang liar itu.
"Anak ini seperti ada jinnya, Abdul Bahrum!" ucap MatMadun yang baru selesai menambatkan tali hidung hewan liar itu ke tiang pagar. Orang dewasa lain berkerumun mengelilingi Mastery yang duduk di sisi ayahnya.
"Bagaimana kau buat sampai bisa begitu?" tanya Syahbandar, "kau kuberi hadiah sepasang kambing gunung.  Mastery yang masih belum berbaju mengatakan,
"Kulemparkan baju kausku kepadanya, agar bauku di dalam tumpukan rumput tidak dirasakannya lagi karena sudah sama dengan bau keringatku pada baju di dekat hidungnya. Ketika ia mulai makan kuintip hidungnya dari celah-celah rumput. Begitu hidungnya mendekat, kumasukkan rotan cacing yang belakangnya bersambung dengan tali ijuk panjang. Begitu ujung rotan masuk ke sebelah, kutarik ujung itu sambil mundur ke luar pagar di bawah tumpukan rumput."
Orang-orang dari dalam pasar mengelilingi Mastery, juga ibu-ibu yang kembali berbelanja. Wajah Abdul Bahrum merah padam karena anaknya menjadi perhatian orang banyak. Syahbandar datang kembali dengan sepasang kambing gunung yang indah tanduknya. Sambil menepuk-nepuk bahu, dan mengusap rambut Mastery ia berkata,  "Kambing ini untukmu! Kau pasti menjadi anak yang luar biasa di masa yang akan datang!"
Selain itu bermacam kejadian rumit dan aneh aneh dilakukan Mastery di kota kecil tempatnya tinggal. Ketika itu belum ada timba plastik. Kalau orang mengambil timba yang jatuh ke dalam sumur biasanya dengan galah, maka Mastery dengan besi magnit yang digantungnya ke dasar sumur. Sampai berpuluh timba dan kaleng kosong dikeluarkannya. Kalau anak-anak lain melompat mandi ke dalam sungai dari tebing atau dari jembatan, ia menarik sebatang bambu tua yang tumbuh di tepi sungai.
Melengkung sampai hampir rata dengan tanah. Lalu dipotongnya seluruh ranting dan cabang bambu serta pucuknya. Setelah itu ia telentang di dekat ujung bambu yang sedang melentur kuat itu. Akhirnya ia memotong akar yang mengikat di bawah kepalanya. Begitu akar itu putus, bambu itu melenting dengan membawa badannya jauh terangkat ke atas permukaan sungai. Sebelum ia jatuh ke permukaan air, biasanya ia sempat bersorak dan meliuk-liukkan badannya dengan gerakan-gerakan menakjubkan.
"Memang anak itu seperti ada jinnya," kata Syahbandar yang kebetulan sedang berada di atas perahu, melihat kejadian aneh dan menggelikan itu. Dalam umur 15 tahun ia telah menghilang dari tempat kelahirannya. Sekolah dengan berpindah-pindah kota, tanpa diketahui oleh ayahnya Abdul Bahrum bagaimana anaknya itu bisa hidup dan meneruskan sekolah tanpa dibiayai. Dan dari mana dia mendapat ongkos untuk pindah-pindah kota, bertualang di sepanjang Pulau Sumatra sampai ke pulau-pulau kecil seperti Pulau Simeulu, Rupat, Bengkalis, Pulau Panjang dan lain-lain.
Pemah ia mendatangi sebuah pekuburan yang amat luas.  Ditatapnya tanah pekuburan itu dari tepi jalan. Nalurinya mengatakan, bagaimana pun, di antara ratusan kuburan itu, tentu ada yang mengandung hal-hal yang mencengangkan.
Karena itu ia masuk ke kawasan pekuburan ini, mencari kuncen yang mengawasi dan mengurus kebersihannya.
Sekarang dia bukan anak laki-laki belasan tahun lagi. Ia telah dewasa. Jalan hidup yang ditempuhnya, melalui berbagai kejadian yang aneh-aneh. Yang mungkin jarang sekali dilakukan dan dialami orang lain. Apakah ada kegunaannya, dia sendirilah yang tahu. Menjadi ilmu yang mubazir atau bermanfaat.
'Tak! Pak Kuncen!" ujar Mastery menegur dari depan gubuk pengurus wakaf itu. Sungguhpun orang yang dipanggilnya tidak kelihatan.
"Siapa" Mau memesan lahat, ya?" sahut Kuncen Jamono. Yang telah dua puluh dua tahun mengurus kebersihan tanah wakaf pekuburan umum itu.   Pak Jamono ke luar dari balik batang pohon kamboja dengan tangan yang masih bertanah. Ia disambut Mastery dengan ramah dan berkata, "Saya mau bicara dengan Bapak sebentar!"
"Aduh, masih ada kerja membersihkan sudut sana,"
jawab Pak Jamono. Mastery sejenak tersimak.
"Ini pakaian untuk bekerja di kebun, saya bawakan untuk Bapak. Mungkin Bapak sudi berbicara dengan saya sebentar." Pak Jamono memandang sepasang baju katun tebal seragam dengan celananya itu. Sudah lama ia mengimpikan baju kerja yang demikian. Seperti yang selalu dipakai oleh tukang-tukang listrik. Setelah bertanya Mastery dari mana dan perlu apa, mereka duduk di beranda, di atas bale-bale bambu dipecah. Pak Jamono mengeluarkan teko yang kelihatan beberapa bagian catnya sudah terkelupas.
Sehingga kelihatan lapisan dalamnya yang terbuat dari kaleng.
"Pasti Bapak telah lama sekali di tanah wakaf ini," ujar Mastery duduk dengan enak bersandar pada tepas dinding beranda.
"Wong yo lebih dari dua puluh tahun, kok," jawab Pak Jamono.
"Nah, selama itu, dari sekian banyak kuburan di smi, manakah yang Bapak rasa ada keanehannya?" tanya Mastery, menatap wajah Pak Jamono yang kelihatan seperti mencoba mengingat-ingat sesuatu yang hampir dilupakannya. Setelah yakin, ia menatap Mastery dengan wajah cerah.
"Ada ... ada!"
"Bagaimana, Pak" Yang mana?" tanya Mastery beruntun.
"Itu . . . itu!" ucap Pak Jamono sambil menunjuk ke celah-celah dahan kamboja dan beberapa cabang pohon bunga setinggi pinggang.
"Di sini saja kita bercerita, Pak," tukas Mastery, "nanti baru kita ke sana."
Pak Jamono bercerita, setelah menunggingkan ujung ceret berisi teh ke cangkir mereka. Diceritakannya sekitar tujuh tahun yang lalu, ada seseorang dikuburkan. Mungkin ternama juga karena banyak orang yang mengantarkan jenazahnya. Setelah orang-orang membacakan doa dan tahlil, mereka pun beranjak pulang. Akan tetapi baru saja tujuh langkah meninggalkan tanah pusara, terdengar seperti ada suara dentuman-dentuman di bawah tanah pekuburan.
Seperti bunyi geledek yang teredam tanah di atasnya.
Semua orang terhenti ketika mendengar bunyi itu.
"Di celah-celah gumpalan, tanah yang baru ditimbun, kelihatan asap mengepul, seperti asap cerutu. Baunya sengit, seperti bau sesuatu yang terbakar," Pak Jamono mengakhiri ceritanya.
"Yang mana kuburan itu, Pak?" potong Mastery seperti akan bergerak dari duduknya.
"Mari kita ke sana. Saya tunjukkan!" tambah Pak Jamono sambil berdiri membawa tembilang yang ujungnya bertanah.
Melalui belok-belok jalan setapak di celah-celah pusara yang banyak, mereka berhenti. Kira-kira lima langkah di depan keduanya, sebuah kuburan diperhatikan Pak Jamono dengan nanap. Juga menarik perhatian Mastery, menunggu petunjuk orang tua itu.
"Inilah yang kumaksud."
"Tak ada rumput yang tumbuh, ya Pak?" ucap Mastery.
"Memang! Itu termasuk keanehannya juga!"
Mastery bertanya apakah Pak Jamono mengetahui siapa jenazah itu ketika ia masih hidup di dunia. Dengan mengerutkan kening lebih dahulu, Pak Jamono menyahut,
"Kalau tak salah .. . orang pintar juga. Malah katanya ada keturunan rajanya. Begitu yang Bapak dengar."
"Kerjanya?"
"Wah, kalau soal itu Bapak tak tahu pasti. Tetapi kata orang, ia orang pandai tempat orang-orang meminta pertolongan, jika sakit dan hal-hal lain-lain. Habis, Bapak tak begitu tahu."
"Baik, . . baik saya sudah maklum!" potong Mastery.
Kemudian kelihatan Mastery berbicara panjang lebar, dengan kedua tangannya seperti menggambarkan sesuatu bentuk. Dan dengan ujung ranting, ia menggaris-garis di atas tanah. Diperhatikan Pak Jamono dengan minat yang tercurah. Dan ia mengangguk-angguk. Sebentar-sebentar terlihat garis-garis keheranan di wajahnya. Akhirnya Mastery menyodorkan sejumlah uang kepada Pak Jamono.
Diterima orang tua itu dengan enggan, dan malu-malu.
"Harus, . . . pengganti jerih-payah dan tenaga Bapak!"
ucap Mastery. Pak Jamono kembali mengambil sekop dan perkakas lain. Mastery ikut mengawasi apa yang dimintanya kepada orang tua itu. Sebuah lubang panjang di. samping lahat kuburan tua itu, digali Pak Jamono dengan sedikit perasaan takut dan ragu-ragu. Kemudian dinding tanah lahat kuburan lama ditohoknya sedikit dengan pangkal sekop.
Tanah keropos terbuka selebar peci. Pak Jamono hendak
terlompat ke luar ketika dilihatnya kerangka manusia yang kain kafannya sudah lapuk dan melorot dimakan tanah.
"Apa ini ndak berdosa, Nak?" tanya Pak Jamono, dengan napas sesak.
"Nanti kita tutup kembali, Pak!" kata Mastery, "Yang saya perlukan hanya satu malam saja."
Kemudian dibuatkan sebuah papan penutup lubang panjang itu. Sampai Kamis sore, baru seluruhnya selesai.
Sebatang bambu, yang panjangnya sekitar satu setengah depa yang telah dibobol sekat ruasnya, tertegak di atas papan yang telah diberi lubang seluas lingkaran bambu terpacak itu.
Pada pukul 10 malam, Mastery meminta Pak Jamono membalut tubuhnya dengan kain mori putih, seperti bentuk jenazah yang akan dikuburkan. Lampu semprong yang menerangi pekerjaan itu, tak menarik perhatian orang yang lewat di jalan raya. Mastery turun ke bawah lubang.
Membaringkan tubuhnya seperti jenazah yang dimasukkan ke dalam lahat. Mori di ujung kakinya terikat. Di bagian kepala terbuka. Burung malam mendengus di cabang kamboja. Pak Jamono berkeringat. Mungkin bukan saja karena kerja yang mengeluarkan tenaga, tetapi juga oleh ketakutan yang belum pernah dirasakan selama ia menjadi kuncen tanah wakaf pekuburan umum ini.
"Tutupkan papan dan timbun aengan tanah, Pak," ucap Mastery. Semula Pak Jamono ragu-ragu. Bagaimana kalau orang muda ini benar-benar mati di dalam, sungguhpun udara untuknya bernapas bisa masuk dari rongga lubang bambu yang terpacak setentang wajahnya" Dari lubang bambu dikeluarkan seuntai tali yang panjangnya sampai ke gubuk Pak Jamono.
"Kalau terasa tali saya tarik, cepat-cepat tolong bongkar kembali tanah di atas saya, Pak." ujar Mastery lagi.
Kemudian tanah berjatuhan ditimbunkan Pak Jamono ke papan penutup di atas Mastery berbaring berbungkus mori putih.
Entah apa yang dikatakan Mastery, tidak tersimak lagi oleh orang tua itu. Akan tetapi setelah telinganya didekatkannya ke mulut lubang bambu di atas tanah, baru ia mendengar, "Bapak boleh pulang sampai saya beri tanda dengan ujung tali yang ada pada Bapak!"
Pak Jamono melangkah sesudah beberapa kali menoleh ke arah "kuburan" Mastery. Pikiran Pak Jamono ragu-ragu.
Bagaimana kalau laki-laki itu betul-betul mati" Apakah akan ditimbunnya terus di bawah batu nisan yang memang sudah ada di atas tanah pusara itu" Bagaimana kalau orang tahu. Ia bisa dituduh membunuh seseorang, dengan jalan menimbunnya seperti orang mati.
Pak Jamono menarik napas panjang sambil bersoal-jawab di dalam hatinya.
"Begini lama hidup sebagai kuncen kuburan, baru kali ini ada orang yang kerjanya senekad dan seaneh ini. Apa perlunya dia berbuat begitu?"
Selama ini, Pak Jamono tidak pernah diikuti perasaan takut sedikit pun. Walau gubuknya berada di sudut tanah wakaf itu juga. Akan tetapi perbuatan dan kehendak laki-laki aneh ini telah menimbulkan rasa takutnya. Seolah-olah seluruh pohon bunga kamboja yang ditiup angin malam, mengajak dan menemplaknya. Dan burung malam yang berbunyi "Kuss .... kussss," seperti menyindirnya mengatakan, "Bungkus .. bungkus." Ia menghibur diri, dengan kopi tubruk yang kental, agar ia tidak mengantuk mengawasi ujung tali yang ke luar dari lubang bambu di
atas makam buatan yang berisi Mastery. Malam semakin larut. Pak Jamono mengawasi jam beker meja yang belnya sudah tidak berbunyi lagi sejak jatuh dari lemari.
Gelisahnya, seperti menantikan kelahiran anaknya, Tono, yang sedang pulang kampung menjumpai ibu dan neneknya.
Mastery sendiri berkeringat di dalam lubang panjang pengap. Sungguhpun lubang angin dari bambu tertanam di depan hidungnya, tetapi udara tidak berembus seperti di alam bebas. Keringat mulai membersit, menembus baju dan melembabkan mori pembalut badannya. Jarum jam Election yang beradium, diawasinya di dalam gelap di bawah tanah. Pukul 12 kurang tujuh menit.
Berdebar keras juga jantung Mastery, apakah percobaannya akan ada hasilnya atau tidak. Ia pernah mengikuti pesantren kecil-kecilan dengan murid hanya kurang dari seratus orang. Di sana ia serba sedikit mendengar wejangan kiainya tentang alam kubur dan alam akhirat kelak. Masih terbayang olehnya, bagaimana teman-temannya sesama mengaji, benar-benar terpukau oleh wejangan guru mereka. Sungguhpun yang dibicarakan itu merupakan kejadian alam gaib, tempat yang belum pernah didatangi seseorang yang kemudian pulang dengan membawa kebenaran kejadian. Sedangkan dia mendengar ceramah itu dengan keyakinan separuh-senanih. Mungkin karena hatinya keras degil dan bandel untuk menerima begitu saja berita gaib yang dikisahkan kiai mereka. Namun Mastery juga yakin tentu bukan dia saja yang ragu-ragu mendengar berita sesudah mati itu. Mungkin ada yang lebih ragu ataupun sinis menerimanya.
Hanya dengan mulut mereka yakini, tetapi hati mereka tetap ragu-ragu menerima dan mengakuinya. Hampir bersamaan waktunya dengan Pak Jamono memperhatikan
jarum beker dempet menjadi satu pada angka dua belas yang tegak lurus, Mastery juga melihat radium jarum jam tangannya berdempet, membentuk sebuah garis kecil cahaya seperti kelelawar terpotong-Tiba-tiba sekali, seperti petir menyambar, dengan bunga api yang menyilaukan mata, ruangan lahat di sebelahnya berbunyi bergemertak. Hampir sama dengan bunyi daun basah terbakar. Ia telah berlatih menghadapi ketakutan dan kengerian. Sejak kiainya di pesantren dahulu mengajarkan murid-muridnya tidur di atas kuburan sepanjang malam.
Ada yang menangis, ada yang sampai terkencing-kencing di atas kuburan dalam melaksanakan perintah kiai mereka ini.
Akan tetapi masuk sampai ke liang lahat, baru sekali ini dilakukannya.
Bunyi itu berdebar-debar beberapa kali, mengeluarkan bunga api. Lalu membakar jenazah di sebelahnya, yang tiba-tiba dilihat Mastery telah berdaging kembali seperti mayat yang baru dimakamkan. Tubuh manusia di sebelahnya itu melentik-lentik dan meliuk-liuk karena api yang amat panas dengan tiba-tiba itu. Kulit tubuhnya bergelembungan, dan pecah-pecah mengeluarkan darah dan cairan kental yang bergemertak disambut nyala api. Ulat-ulat besar, ada yang kelihatan melenting, keluar dari kulit yang pecah. Kemudian putus terjuntai mengeluarkan cairan yang berbau amis, menguap karena panas. Tubuh mayat itu berubah seperti batu bara retak-retak. Ada pula terdengar suara-suara bergaum dahsyat, seperti halilintar. Akan tetapi artinya tak sanggup tertangkap gendang telinga Mastery.
Kecuali berupa hardikan dan ancaman belaka.
Akan tetapi anehnya, panas api itu tak sampai menyakiti kulitnya sendiri. Sungguhpun jarak mayat di sebelahnya hanya sehasta darinya. Bagaimana ini bisa terjadi, pikir Mastery. Apakah ada yang menyekat" Adakah sekat alam
kubur dengan alam hidup" Cepat-cepat ditariknya lengan yang amat dekat dengan lubang kuburan di sebelahnya.
Walau tidak ada rasa sakit, atau melepuh kena panas.
Perlahan-lahan ditariknya pergelangan tangan untuk melihat radium jarum jamnya. Setengah dua malam!
Mayat itu masih terbakar. Batok kepalanya mengeluarkan bunyi letusan. Perutnya menggembung dahulu kemudian mengempis, setelah bagian yang hangus mengeluarkan uap.
Baunya busuk. Bagai dinding WC kering yang dibuat menjadi api unggun. Ulat dan cacing bertemperasan, kemudian masuk kembali melalui lubang hidung, telinga dan mata mayat. Kerongkongan Mastery kering. Mungkin karena seluruh persediaan keringat, telah keluar dari pori-pori kulitnya.
Api mulai reda dengan lambaiannya seperti jerami terbakar. Meninggalkan mayat itu seperti patung arang yang gemetaran. Retak-retak dan luruh ke permukaan tanah.
Sebentar terjadi pertukaran cahaya, samar-samar membayang kembali tulang belulang yang terbalut kain robek-robek dimakan tanah.
Pandangan itu kembali seperti biasa. Bagai tak terjadi apa-apa sebelumnya. Bisakah ini, pikir Mastery. Benarkah kejadian yang menyita keringatnya tadi" Perlahan-lahan ia akan meraih ujung tali yang terjuntai di mulut lubang bambu. Terdengar suara gemuruh, seperti kesibukan orang berbaris. Ada orang berduyun-duyun, seperti baru pulang dari perjalanan, dan terdengar ucapan-ucapan mereka,
"Sudah tiba waktunya alam barzah akan ditutup."
Kemudian hening, sepi. Dan Mastery memandang ke tulang-tulang yang terbujur. Tak sedikit pun ada tanda-tanda bekas terbakar. Atau bara api yang telah padam.
Ujung tali ditariknya, dengan lebih dahulu membuka sebagian mori yang membungkus badannya. Pak Jamono
terlompat dari jongkoknya di tanah. Cepat-cepat disodokkannya sekop membongkar timbunan yang menutup Mastery di bawah. Setelah itu ia berseru ke dalam lubang bambu, "Nak,. . Nak Mas ... kau tak apa-apa?"
"Bongkarlah, Pak .... di dalam panas sekali!" terdengar bergaung jawaban Mastery pada rongga tanah di bawah.
Hari telah setengah empat pagi. Debuk-debuk tanah terdengar lembab oleh Mastery dari balik papan di atas tempat ia berbaring semalaman. Ketika papan diangkat Pak Jamono, ia memandang laki-laki itu dengan nanap.
Mungkin ia memperhatikan, apakah orang itu benar-benar hidup dengan roh sebenarnya, atau sebagai makhluk jadi-jadian.
"Bapak kelihatan pucat?"
"Habis, semalaman saya berpikir, Den, bagaimana kalau Aden. tidak ke luar lagi atau papan ini runtuh ketika saya tinggalkan," ucap Pak Jamono dengan kikuk. Embun pagi meliuk-liuk memikul rimbunan dedaunannya. Terasa bagi Mastery, betapa indahnya alam bebas. Di luar dengan tiupan angin dan dedaunan rimbun. Dan burung-burung kecil mulai berlompatan dari dahan ke dahan sampai ke ranting rendah. Menarik ujung-ujung ulat yang tersembunyi di celah kelopak bunga-bunga dengan paruhnya. Cahaya bintang mulai pudar terkena bias cahaya matahari yang akan terbit.
"Betapa jauhnya beda alam bebas dengan liang lahat sana. Apalagi jika liang sesempit itu dipenuhi siksa pada waktu yang ditentukan," pikir Mastery di dalam hati.
"Nak Mas, kok termenung?" tegur Pak Jamono, yang juga terhenti menimbun lubang itu kembali, "Apa Nak Mas ada membawa cincin atau pusaka berharga?"
"Tidak, Pak. Hanya pengalaman yang sukar masuk akal.
Pasti sedikit sekali orang yang mau percaya," ucap Mastery, sambil membersihkan dan melipat mori yang tadinya menjadi pembungkus tubuhnya. Kain itu diberikannya kepada Pak Jamono dengan ucapan, "Untuk Bapak yang telah ikut bersusah-payah membantu keinginan saya,"
Mastery memandang ke langit biru.
Alam barzah telah ditutup, segala roh telah kembali dari perjalanannya menjenguk keluarga yang masih hidup. Ada yang kembali dengan cerah. Ada yang kembali dengan wajah masam, karena ahli familinya tidak melakukan doa yang baik-baik kepada mereka yang telah wafat.
Sambil mengisap rokok, Mastery bertanya lagi kepada Pak Jamono, apa ada lagi kuburan lain yang mempunyai keanehan, selain yang telah ditidurinya semalam tadi.
"Eh ... eh ada juga Nak Mas," sahut Pak Jamono dan melengos berkeliling seperti mencari tempat yang ditujunya.
Pak Jamono mengingat-ingat, kemudian menceritakan, bahwa ada jenazah yang setiap kali diturunkan ke liang lahat, panjang kuburannya harus ditambah. Seolah-olah mayat itu bertambah panjang, atau tanahnya yang menyusut dari ukuran semula.
"Sampai tiga kali liang lahat harus ditambah lagi panjangnya. Itu pun pada saat diturunkan, lutut jenazah harus agak ditekukkan!" ulas Pak Jamono mengakhiri ceritanya.
"Yang seperti itu, kata orang, semasa hidupnya almarhum tamak akan tanah, suka memindah-mindahkan batas tanah orang lain. Sehingga tanahnya menjadi bertambah lebar dengan cara curang," ulas Mastery.
Pak Jamono terperangah memandang laki-laki di hadapannya, dan menukas "Tampaknya Nak Mas banyak tahu yang aneh-aneh dan gaib."
Mastery hanya tersenyum, dan menyisipkan ujung rumput ke celah mulutnya.
"Pantas tak tumbuh rumput di atas kuburan ini, Pak."
"Mengapa, Nak Mas?"
"Seperti puncak gunung berapi, juga tak ditumbuhi rumput dan pohon."
"Apa di bawahnya ... eh ada api?" gugup Pak Jamono akan meneruskan kisah yang hampir sama dengan dongeng.
Mastery mencatat nama yang tertera di atas batu nisan kuburan yang didampinginya semalam. Pak Jamono menanyakan, apa ada gunanya dicatat, sedangkan orangnya sudah mati.
"Iseng saja, Pak."
-oo0dw0oo- 

BEBERAPA hari kemudian, Mastery kelihatan mundar-mandir mencari sebuah rumah. Kemudian bertanya kepada beberapa orang yang masih kenal dengan almarhum yang dicatatnya. Dari bertanya sambung-menyambung begitu, sampailah ia kepada keluarga Istana Sultan yang dahulunya merupakan pusat sejarah. Ia disambut oleh seorang laki-laki setengah umur, yang rambutnya kemerahan seperti peranakan Eropa.
"Itu termasuk kakek buyut kami juga. Apa perlunya Saudara tanyakan?" jawab orang itu.
Yang tampaknya sedikit heran, mengapa ada orang yang bukan famili, menanyakan keluarga mereka yang dihormati. Sungguhpun telah wafat.
"Saya dengar beliau orang berilmu," jawab Mastery.
"Eh, . . . memang. Beliau berumur panjang. Sejak kesultanan di zaman Belanda, baru meninggal sesudah beberapa tahun penyerahan Kedaulatan. Beliau memang orang berilmu sehingga sering dipanggil Sultan dan bangsawan.
Kemudian laki-laki separuh baya itu menceritakan, bahwa kakek buyut mereka sangat ahli dalam hal menundukkan manusia. Terutama perempuan. Bila telah kena salamannya, istri pegawai Belanda pun akan ikut dengan dia.
"Apakah itu kira-kira ilmu amalan atau azimat?" tanya Mastery seperti mereka telah akrab, dan telah saling kenal sejak lama. "Saya pengagum ilmu yang aneh-aneh orang-orang tua dahulu," ujar Mastery lagi menguatkan pertanyaannya.
"Yang pernah saya dengar, entah betul entah tidak, kakek buyut kami itu mempunyai azimat sepotong kepala ular lidi yang sudah kering. Dan anehnya pada mulut ular lidi yang sudah kering itu, ada kodok bancet yang juga kering. Kodok itu kelihatannya sudah tertelan sampai ke kerongkongan ular lidi, tetapi kedua ujung kakinya masih di luar mulut ular."
"Wah, pantas kekuatan salamannya luar biasa!" ucap Mastery.
"Maksud Saudara . . .?" usut Wan Faisal keheranan mendengar ucapan orang yang baru dikenalnya itu.
"Itu azimat kuno sekali. Dulu dipergunakan oleh raja-raja untuk menundukkan lawannya begitu mereka saling bersalaman. Orang yang kena salaman pemilik azimat ini,  seperti kodok bancet di dalam rahang ular lidi keadaannya.  Tetap ingat dan tunduk kepada yang empunya azimat itu."
"Ternyata Saudara lebih tahu dari kami yang keluarga beliau," ucap Wan Faisal, kemudian mempersilakan Mastery minum kopi yang telah dihidangkan pembantu rumah tangga sejak tadi.
"Hanya saja masih banyak rahasia terkandung dalam cara-cara membuat azimat itu," susul Mastery lagi.
"Misalnya, hari apa leher ular lidi itu harus dipotong, dan apa ramuan untuk merendamnya agar mempunyai pengaruh menyedot kepada orang yang disalaminya."
"Akh ... itu ... itu membuat susah saja," sambut Wan Faisal sambil menggerakkan tapak tangannya bagai menampik, "Kami anak cucu yang tinggal, tidak lagi tertarik kepada ilmu-ilmu yang dipakai orang-orang tua kami dahulu."
Kemudian Mastery menanyakan apakah azimat itu masih ada. Ia ingin sekali walau sekedar melihat saja.
"Sore beliau dimakamkan, barang itu masih ada. Tetapi hari berikutnya, hilang begitu saja dari dalam lemari beliau yang tetap tertutup."
"Mungkin ada yang mewarisi?" duga Mastery dengan mata menyelidik.
"Saya rasa,... .tak ada, karena kami sekeluarga besar, biasa-biasa saja, tak seperti almarhum kakek buyut kami itu."
Mastery menanyakan berapakah anak almarhum yang masih hidup.
"Ada . . . eh . . . sekitar 34 orang semua," ucap Wan Faisal, tetapi kemudian ia bagai menyesal karena menjawabnya dengan polos.
"Dari seorang isteri" Rasanya terlalu banyak," ulas Mastery.
"Dari ... 4 istri, dan dari bekas isterinya yang lain."
Sebagai selingan pembicaraan, Wan Faisal mengatakan bahwa almarhum semasa hidupnya lebih dari 90 kali menikah. Dan sering dipanggil orang untuk menundukkan pengantin-pengantin yang belum mau tidur seranjang dengan suaminya.
Kepada Mastery diperlihatkan Wan Faisal foto almarhum kakek buyut mereka itu semasa hidupnya. Tinggi besar dengan batang hidung kukuh dan dagu berat ciri khas orang berkharisma tinggi dan dipatuhi orang lain.
Terbayang kembali oleh Mastery apa yang dialaminya pada malam Jumat Kliwon di dalam lahat almarhum.
Mengapa sampai terjadi siksa yang membuat rumput pun tidak tumbuh di atas pusaranya"
Mungkinkah orang tua itu mempergunakan ilmunya untuk sembarang jalan. Sehingga menjadi dosa yang amat besar. Yang harus dibayarnya dengan siksa kubur, selainnya nanti di akhirat"
"Saya rasa Saudara orang aneh," ucap Wan Faisal.
"Mengapa Saudara tidak mewawancarai pengusaha, atau penguasa yang sedang duduk di pemerintahan, untuk mempelajari jalan sukses beliau-beliau itu?"
"Ha, ha, kalau soal itu sudah ada yang mengurusnya yaitu wartawan-wartawan. Sedangkan saya bergerak di bidang lain yang tidak mungkin disukai sembarang orang,"
tukas Mastery. "Kalau boleh saya tahu bidang pekerjaan Saudara, saya akan senang sekali. Dan pintu kami selalu terbuka untuk menerima Saudara sembarang waktu yang diinginkan,"
ucap Wan Faisal. Ia melihat laki-laki di hadapannya itu lembut dan penuh pengertian, mudah bergaul, dalam waktu singkat bisa membentuk perkenalan seperti telah kenal bertahun-tahun. Dan ada pengaruh aneh pada wajah orang yang tiba-tiba dapat berkenalan dengan kakek buyut mereka yang telah wafat itu
"Saya senang dengan ilmu . . . !" ucap Mastery acuh tak acuh.
"Sudah saya duga, .... pekerjaan Saudara pasti aneh dan lain dari yang lain!" kata Wan Faisal.
Malamnya, sepulang dari rumah Wan Faisal di dalam kompleks ke Sultanan, Mastery masih berpikir-pikir tentang kodrat kepala ular lidi menelan kodok bancet, yang membuat si empunya menjadi seperti rahang ular lidi, dan orang-orang yang disalami menjadi seperti kodok bancet.
Masih adakah orang yang mengerjakan azimat seperti itu"
Dalam lamunan demikian, laki-laki itu terlena ke dalam tidurnya. Akan tetapi roh kesadarannya masih mengambang dalam pertanyaan-pertanyaan yang belum selesai jawabannya.
Ketika itulah tempat tidurnya digoncang detar-detar bunyi cemeti di udara. Kelihatan cemeti itu seperti seluruhnya terbuat dari api, dengan pangkal sebesar lengan.
Akan tetapi bagaimana api bisa menjadi benda padat seperti itu, tak sanggup ia memahami.
Dari balik kabut merah, tampillah seseorang dengan tubuh bilur-bilur seperti bekas cemeti. Sebagian kulitnya malah ada yang koyak. Di kiri-kanan orang itu ada dua orang lagi yang wajahnya samar-samar. Seperti cahaya di
balik kaca buram. Cemeti itu berdetar-detar lagi. Orang itu semakin dekat ke tempat Mastery berbaring. Tanpa berpakaian. Kemaluannya dikerubuti ulat dan lintah yang besar-besar. Dan ulat-ulat itu mengerenyam liar seperti tawon lebah yang bergantung pada sarangnya. Walaupun ada yang terlihat jatuh ke tanah, tetapi tak tampak kelihatan menjalar. Sedangkan lintah-lintah yang melengkung, dengan perut besar masih bergantungan di tempat itu. Akan tetapi yang punya badan tidak dapat berbuat apa-apa sedikit pun. Mastery masih terkatung-katung di tengah alam sadar dan tidak. Sehingga walaupun ia berusaha membuka mata, tetapi tidak berhasil juga. ,
Setindak lagi orang yang dikenalnya seperti foto yang diperlihatkan Wan Faisal itu semakin dekat dengan tempat ia berbaring tidur.
Kelihatan mulut orang itu bergerak-gerak disusul bunyi suara lembut dan lunak, "Aku menyesal menerima ilmu itu dari seberang, membuat aku tak mengenal lagi mana perempuan yang halal bagi laki-laki, dan mana yang haram.
Dan ilmu itu tak mau tinggal di dunia. Ia mengikuti aku sampai ke liang kubur. Sampaikan pesanku kepada anak-anakku, semoga ada di antara mereka yang banyak itu termasuk anak saleh, yang dapat menghapuskan siksa kubur ini dariku."
Ketika Mastery akan menyahut bahwa pesan itu akan disampaikan, bayangan orang itu sudah hilang dari pemandangan mimpi setengah sadar.
"Mengapa aku yang dipilihnya untuk menyampaikan pesan itu?" ucap lubuk hati Mastery.

******* II 
Di dalam hatinya ada sesuatu yang mendesak agar ia melangkahkan kaki ke seberang. Mastery tidak mengetahui dengan pasti mengapa Pulau Jawa menariknya sedemikian kuat. Kalaupun ada alasan itu, tidaklah banyak berarti, yakni kenangan semasa ia masih sekolah SMP. Pada waktu ini ada mata pelajaran khusus dengan setiap murid diberi kebebasan bercerita di depan kelas. Topik cerita boleh dipilih sendiri apa yang menarik bagi masing-masing murid.
Pelajaran seperti ini dahulu dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia. Mengutarakan pendapat terhadap sesuatu persoalan dengan bahasa Indonesia yang baik. Terangan-angan kembali oleh Mastery, bagaimana ia diejek dan disindir oleh teman-teman sekelasnya karena ia menjadikan Pulau Jawa sebagai pokok pengupasannya di depan kelas.
Ketika itu, ia diberi pula kesempatan untuk membuat peta Pulau Jawa di atas papan tulis.
"Ada-ada saja kau, Mas," ucap Ahmad kawan sebangkunya, "Padahal pergi ke sana pun kau belum."
"Aneh si Tery, mempidatokan yang belum pernah dilihatnya," ucap Syahlul siswa tergagah yang duduk di bangku paling belakang.
Mendengar itu, Pak Nasib, seorang guru bahasa Indonesia, tersenyum dan berkata menenangkan suasana,
"Boleh saja! Setidaknya si Mas memakai bahasa Indonesia yang baik dalam mengemukakan pendapatnya tentang Pulau Jawa yang dimaksudnya."
Seperti mendapat pembelaan, Mastery melaksanakan tugasnya. Yang sudah tentu, bukan berdasarkan kenyataan yang pernah dilihatnya. Melainkan berdasarkan peta dan tanggapan di dalam dirinya sendiri. Seperti ada
hubungannya dengan mimpinya beberapa bulan yang lalu.
Mula-mula ia melihat sebuah pulau yang panjang sekali berbentuk naga. Kemudian pulau itu putus di bagian tengahnya menjadi naga berkaki. Kemudian putus lagi di bagian ekornya menjadi pulau seperti monster berekor.
Sayup-sayup, seperti dilumuri tabir kabut, bentuk itu muncul menjadi seperti bentuk Pulau Jawa sekarang, dengan Madura sebagai ekornya. Sedangkan ekor naga di bagian timur, putus-putus menjadi Kepulauan Sunda kecil, d"ri mulai Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Timor dan seterusnya. Mimpi itu selalu saja timbul menjadi kenangan yang amat dalam pada dirinya namun sampai ia menamatkan pelajaran di Sekolah Guru, tidak juga ia menemukan di dalam sejarah, tentang kebenaran mimpinya itu.
Mastery masih ingat, betapa ributnya teman-teman sekelasnya ketika ia membicarakan bahwa Pulau Jawa adalah pulau aneh, dengan, gunung-gunung berapi yang banyak sekali, bahkan lebih banyak dari gunung berapi di seluruh permukaan sebuah benua. Dan ia juga mengatakan bahwa Pulau Jawa adalah pulau seluruh makhluk kasar dan gaib. Sementara Pak Nasib sebagai guru Bahasa Indonesia, hanya manggut-manggut mendengar cerita siswanya itu.
"Bahkan saya merasa, mungkin dari tanah pulau itulah dibentuk Adam di surga!" keterangan Mastery yang terakhir ini membuat situasi kelas semakin ribut dengan ejekan dan sindiran sinis kepadanya. Akan tetapi ia diberi kebebasan terus oleh Pak Nasib untuk meneruskan tanggapannya mengenai pulau itu. Ia masih ingat bagaimana ketika ia menyinggungnya pula.
Selesai jam pelajaran Bahasa Indonesia, Mastery dipanggil oleh Pak Nasib dan berkata, "Dari mana kau mendapat bahan cerita seperti itu, Mas?"
Agak ragu-ragu dan malu Mastery menjawab, "Pertama dari mimpi, Pak."
"Kau mempunyai bakat spiritual yang amat besar, nantinya," ucap Pak Nasib. Ketika itu Mastery belum memahami apa makna ucapan Pak Nasib.
"Bahan ceritamu tadi seluruhnya datang dari pikiranmu sendiri?" tanya Pak Nasib lagi mengawasi Mastery dari ujung kaki sampai ke wajahnya. Seorang siswa yang biasa-biasa saja, kulit putih kemerahan, kepala agak besar, dan telinga panjang yang bergelambir di bawahnya. Dari bentuk
rambut terlihat satu masa nanti ia akan berdahi luas karena sebagian rambutnya akan gugur mulai dari bagian depan kening.
"Bapak tak tahu, apa jurusan yang akan kau pilih pada suatu ketika nanti," ucap Pak Hasib lagi sesaat kemudian,
"Apakah kau pernah belajar dari orang lain tentang apa yang kau terangkan tadi?"
"Tidak, Pak," jawab Mastery, "hanya pernah ada orang yang keluar dari dalam diri saya sendiri yang menceritakan hal itu kepada saya secara lengkap, tetapi tidak seluruhnya lagi saya ingat."
"Maksudmu, kau ketika itu berhadapan dengan orang yang sama bentuknya dengan kamu?"
"Ya, Pak!" jawab Mastery, "tetapi saya takut menceritakannya kepada orang lain."
"Apakah kamu berbohong?"
"Tidak, Pak saya bercerita benar, karena ingin sekali mengetahui sesungguhnya yang telah terjadi pada diri saya, Pak. Mungkin dari Bapak saya akan memperoleh petunjuk tentang kejadian diri saya itu!" tukas Mastery, sementara guru-guru yang lain, mulai tertarik dengan soal jawab itu.
Sesudah kejadian itu, buku gambar Mastery penuh dengan coretan-coretan dan sket berbentuk Vulau Sumatra dengan Pulau Jawa ketika masih bersambung, dengan Pulau Jawa berbentuk ular,
Pulau Ule Ule (Olele) sebagai kepala ular, Pulau Jawa berbentuk naga, dan yang sekarang ini Pulau Jawa berbentuk harimau dengan ekornya Pulau Madura.
Sejak itu Mastery menempuh perjalanan hidupnya sendiri. Menjelajahi pulau dengan mengikuti beberapa tukang obat pinggir jalan, menjadi anak buah kapal antar pulau, mengikuti seorang pawang hutan, dan berteman dengan seorang pemburu. Dan akhirnya ia berjumpa dengan seorang tua, ketika bus yang ditumpanginya diturunkan ke rakit pelayangan di sebuah sungai besar di daerah Sumatra Selatan.
"Semoga kau hati-hati saja, Nak!" ucap orang tua itu,  "ibarat kendaraan berlapis baja, jangan kau dekati tempat-tempat pertempuran. Sebab kau akan dipaksa untuk mengikuti pertempuran itu di salah satu pihak yang ingin mengambilmu sebagai golongan mereka."
Belum sempat Mastery menanyakan makna perkataan orang tua itu, nakhoda rakit sudah mengatakan bus akan dinaikkan. Ucapan itu serentak dengan bunyi rakit terantuk dengan tepi sungai di seberang. Mastery mencari orang tua yang menasehatinya tadi. Akan tetapi rupanya dia sudah naik ke bus lain.
Ucapan inilah yang masih tetap dikenangnya sampai bertahun-tahun. Hingga ia sampai di daerah Sungai Musi Palembang. Hujan sedang lebat. Jembatan Ampera saja yang tidak bergoyang ditiup angin kencang. Mastery akan berlari ke ujung jembatan, tetapi hujan tiba-tiba bagai ditumpahkan dari langit.
Di balik garis-garis hujan yang seperti arsir pada lukisan komik, ia melihat sebuah tudung hitam seperti bersandar pada terali titi itu. Seraut wajah yang tidak kelihatan dengan tangan memegang tudung itu, bagai tidak menghiraukan buncah alam dan gemuruh sekitarnya. Payung hitam itu cukup besar untuk dua orang. Mastery jadi ragu-ragu sebab setelah beberapa langkah lagi dari orang yang memakai payung itu, dia baru menyadari bahwa yang didatanginya itu seorang perempuan. Yang masih tetap saja menekurkan kepalanya ke permukaan air Sungai Musi yang keruh.
Tanpa menghiraukan kenek oplet yang memanggil-mang-gilnya.
"Saya kehujanan, Dik," sapa Mastery, "kalau boleh saya mau numpang berpayung menunggu hujan teduh. Dan saya, .... tidak akan mengganggumu, Dik."
Permintaan Mastery, tidak disahuti perempuan itu.
Selain hanya sedikit saja memaliskan muka tetapi dengan mata tetap tertunduk. Dan kelihatan mata itu bersemu merah. Seperti baru saja berhenti menangis.
Mastery memilih teduhan payung di kiri perempuan itu.
Karena tempat itu yang masih lapang, sehingga tak sampai tersenggol tubuh perempuan itu.
Mastery ikut juga memperhatikan air Sungai Musi yang banyak membawa buih dari gunung. Akan tetapi tidak ditemuinya pemandangan lain, yang kiranya dapat membuat perempuan itu sedemikian nanap menekurinya.
"Maafkan saya, . . . adik ini dalam keadaan susah kelihatannya," tegur Mastery perlahan. Perempuan itu masih diam saja, hanya mengubah letak berdiri kakinya.
Dan kelihatan wajahnya berangsur teduh.
"Setiap orang, paling tidak sekali dalam hidupnya, mendapat kesulitan yang paling berat. Termasuk saya juga,
.... mungkin. Kalau Adik ini mau menceritakannya kepadaku, mungkin akan ringan sedikit. Apalagi, kalau kita pikirkan bersama jalan keluarnya."
Perempuan itu menangis lagi sejenak. Mastery ikut berdiam diri. Ingat bahwa tiap lampu akan kehabisan minyak, sejenak akan menyala terang sebelum padam. Ia yakin, selesai tangis yang akhir ini perempuan di sampingnya itu akan berangsur tenang dan lembut hatinya.
"Saya tadi sebenarnya mau bunuh diri!" ucap perempuan itu perlahan, tetapi terlempar ke tengah persoalan yang mengerikan."
"Jangan, Dik! Lebih-lebih sekarang ini! Bisa saja orang menuduh aku yang menolakkanmu dari atas Jembatan Ampera ini. Apakah kau sampai hati membuat aku terlibat sengsara seperti itu?"
"Mengapa terlibat dengan aku?" tukas perempuan itu lagi.
"Habis.....di sini kan kita berdua saja satu payung!"
Di wajah perempuan itu kelihatan melintas suatu kecerahan baru. Bibirnya bergerak seperti hendak tersenyum. Mungkin karena merasa lucu dengan ketakutan laki-laki di sampingnya. Mungkin juga karena baru menyadari bahwa apa yang akan dilakukannya, dengan tiba-tiba dapat melibatkan orang lain yang tidak tahu menahu.
"Salah Mas sendiri, mengapa ke mari?"
"Biar diusir, aku tak akan mau pergi sekarang!" tukas Mastery, "sebelum kita bersama-sama meninggalkan tempat ini."
Mastery lalu mengatakan, walau dia pergi sekarang, tetapi sejak tadi sudah ada orang yang mempersaksikan, bahwa mereka pernah sama-sama di bawah satu payung di dalam hujan lebat.
Percik air hujan menerpa permukaan jembatan, membasahi kaki mereka. Mastery sendiri, celana sampai ke batas lututnya telah lembab. Di depan hidung mereka air hujan turun melalui kain payung. Perempuan di sampingnya seperti mengandung magnit kuat sekali.
Berlainan dengan gadis-gadis yang dijumpainya di dalam pergaulan dan perjalanan. Sungguhpun Mastery masih bertanya-tanya dalam hati apakah cuma karena ia telah lama tidak bergaul cjengan perempuan"
Tidak! Tidak! Enam bulan yang lalu, ia juga pernah tidak bergaul dengan perempuan, tetapi pengaruhnya tidak sekuat seperti sekarang ini. Dengan sudut mata, diperhatikannya kulit perempuan yang hitam manis itu. Jari-jarinya yang halus runcing memegang tangkai payung. Perge-langan tangannya yang kecil bulat padat.
Kulit perempuan itu licin berkilau, seperti digosok minyak. Mastery merasa kulit perempuan di sampingnya ini adalah paling halus dari yang pernah dilihatnya.
Sungguhpun wajahnya tidak termasuk cantik sekali, dari pinggang baju yang longgar dan penuh gelombang, Mastery dapat menerka bahwa perempuan di sampingnya berpinggang ramping sekali. Dengan tali pinggang dari kain, yang sebagian tertutup oleh kendoran blouse-nya.
Akan tetapi ke bagian bawah, dilihatnya pakaian itu ketat menutupi seluruh badan. Berujung pada sepasang kaki yang bagus bentuknya dengan tapak kaki kecil dan jari yang tersusun di permukaan sandal. Dan pergelangan kaki itu juga kecil bulat, tanpa memperlihatkan urat-urat sedikit pun. Dengan mata kaki yang hampir tidak kelihatan.
Mastery memang sudah membiasakan diri melihat alam tembus, sungguh pun diberi penyekat-penyekat lain. Bahwa yang di sisinya sekarang ini, bertubuh bagus, seperti yang diidam-idamkan semua laki-laki.
Mastery dengan lembut bertanya mengapa perempuan itu mau bunuh diri.
"Hidup saya jadi susah, Mas!" ucapnya perlahan, "karena orang-orang yang mengenal saya, mau berbunuhan gara-gara saya. Saya kan jadi merasa berdosa."
"Tentu orang-orang yang telah mengenalmu dekat sekali."
"Ya, begitulah! Mana mungkin yang cuma baru kenal seperti Mas."
"Mungkin juga, sejak waktu ini kita akan menjadi akrab sekali," ulas Mastery menduga-duga apakah perempuan muda yang di sampingnya sekarang ini mudah untuk ditarik ke atas ranjang. Apakah ia masih gadis atau tidak"
Namanya Sri Sekarwati, kampung asalnya Prambanan.
Sudah pernah punya suami, seorang anggota Polri, tetapi walau sudah dua tahun mereka belum juga punya anak.
Suaminya, bekerja sebagai anggota polisi khusus menjaga keamanan kereta api sampai ke kapal ferry yang menghubungkan Merak dengan Lampung.
"Coba Mas bayangkan, betapa perasaan seorang istri, jika tiba-tiba datang seorang wanita yang hamil tua ke rumahnya. Dan mengatakan suami saya itu yang membuatnya demikian!" ucap Sri Sekarwati luruh.
"Pasti pukulan dahsyat sekali bagi jiwamu," sahut Mastery sambil menarik napas panjang.
Ketika itu, kebetulan suaminya sedang tidak berada di rumah. Sedang ke rumah teman sekerja berjarak beberapa petak rumah asrama. Sri Sekarwati langsung mengambil stengun yang tergantung di dekat pintu. Tak tahu cara menggunakannya ia langsung memukul kepala wanita hamil tua itu dengan popor senjata ini. Sehingga kepalanya mengeluarkan darah.
"Dapat Mas bayangkan bagaimana ributnya asrama ketika itu!"
"Tentu hebat sekali."
"Dunia ini bagai runtuh ketika suami saya mengakui bahwa memang ia yang membuat wanita itu sampai hamil begitu. Hujan mulai reda, curah-annya menjadi lebih halus dan ringan, jatuh miring ke permukaan sungai Musi.
Pejalan kaki mulai berani memotong Jembatan Ampera tanpa memakai payung.
"Sri menceritakan, sejak itu ia lari dari suaminya. Akan tetapi suaminya tetap menguntitnya sampai ia meninggalkan pekerjaan sehingga mendapat beberapa kali peringatan dari atasan. Sri mengeluh, karena ia belum punya anak. Ia rela suaminya mengawini perempuan itu dengan tetap memakai namanya di dalam daftar keluarga.
Agar atasan tidak mengetahui peristiwa yang dapat menurunkan nama baiknya sebagai alat negara.
"Makanya saya menjauhkan diri dari Jakarta ke mari.
Tetapi sampai di sini saya menghadapi kejadian dalam bentuk lain. Laki-laki yang pernah menolong saya, hampir saling berbunuhan karena saya," ucap Sri Sekarwati dengan mengangkat wajahnya yang sejak tadi menekuri permukaan Sungai Musi. Pertama kali ia memaliskan matanya kepada Mastery yang telah ke luar dari teduhan tudung dan yang di wajahnya masih kelihatan bintik-bintik air hujan.
Mastery belum berani menanyakan walau sudah bisa menduga bahwa semua laki-laki itu pernah membawanya tidur bersama. Karena tak mungkin rasanya mereka sampai mau berbunuhan jika tidak ada alasan tersembunyi di dalam diri perempuan yang di sampingnya sekarang.
"Aku juga bukan orang sini," ucap Mastery, "Jika kau mau, mari ke tempatku menginap. Di sana kita cari jalan ke luar kesulitanmu itu."
"Jangan, Mas! Di sini saja sudah berbahaya! Kalau kebetulan di antara mereka ada yang melihat kita berduaan di terali ini, Mas akan menjadi bulan-bulanan mereka."
"Bulan-bulanan?"
"Biarpun kelihatannya saya sendiri, tetapi saya bagai dikepung mereka!" Sri menjelaskan. Di antara mereka ada pejabat menengah, ada juga alat negara yang mudah kalap, ringan menggunakan tangan dan senjata.
Baru terlompat ucapan Mastery, "Apakah mereka pernah bermalam bersamamu?" dengan pertanyaan yang menurut Mastery susunan kalimatnya lebih halus dan sopan.
"Apa sangka Mas, jeleknya hidup seorang janda seperti saya ini, karena kemauan saya sendiri" Tanpa memperhitungkan juga dosa laki-laki yang menguasai dan mengancam saya!?"
Mastery tersimak. Entah apa yang mendorongnya lebih dalam memasuki persoalan yang sedang menimpa Sri Sekarwati. Yang dirasanya pasti mengandung hikmah dan rahasia yang amat pelik. Sungguhpun bunyinya amat sederhana.
"Adik sangka saya akan lari jika mereka datang dengan segala tuduhannya! Sepala mandi biar basah sekalian. Aku juga kini termasuk di antara mereka yang mengelilingimu, Sri."
"Mas, nekad, ya"! Sebaiknya Mas tinggalkan saya sendiri sebelum mereka datang."
"Tidak!"
"Saya mohon ditinggalkan!"
"Tidak! Kalau perlu, biar mereka membuang saya ke bawah sana!"
"Terserah ... !" keluh Sri Sekarwati akhirnya.
Hanya beberapa menit, terdengar suara sebuah jip berderit bannya di atas jembatan. Seorang laki-laki berpakaian dinas ke luar dari depan, dan langsung berkata kepada Sri Sekarwati, tanpa sedikit pun memedulikan laki-laki di sampingnya.
"Ayo pulang! Kalau tidak kuhancurkan rumah dan isinya itu!" ancam orang berpakaian seragam dan bertubuh kekar itu. Akan tetapi rupanya Sri Sekarwati termasuk perempuan yang sudah sering diancam. Dia seperti tidak takut sedikit pun, dan tidak bergerak dari tempat bersandarnya pada terali jembatan. Mastery merasa belum punya alasan untuk mencampuri apa yang terjadi di depan matanya.
Laki-laki bertemperamen tinggi itu, langsung menjambak lengan Sri Sekarwati untuk memaksanya naik ke atas jip.
Ketika itulah Mastery merasa terpanggil untuk membuktikan apa yang pernah dikatakannya tadi kepada Sri.
"Saya juga sedang mengajaknya pulang!" ucap Mastery.
"Saudara siapa?" ujar orang berseragam itu.
"Saya juga berhak bertanya, Saudara siapa?" balas Mastery.
"Jangan campur urusan orang, ya?" ulas orang yang mungkin disegani atau ditakuti orang lain karena mudah kalap dan melakukan kekerasan itu.
"Saudara yang tiba-tiba mencampuri urusan kami berdua!" jawab Mastery, yang mengubah berdirinya membelakangi terali jembatan.
"Kami akan menikah!" songsong Mastery.
Mata orang itu terbelalak merah, dan sambil ber-kacak pinggang, ia berkata, "Kawin! Selama saya masih ada di sini, dia tidak akan bisa kawin dengan siapa pun!" ancam orang itu lagi dengan garang, sehingga air mukanya merah, seperti orang baru habis minum memabukkan.
Tangan orang itu bertengger di atas pistolnya. Karena itu Mastery berkata, "Saudara pasti punya anak istri, serta atasan dalam dinas. Sedangkan saya sendiri seorang petualang yang tidak ada harganya. Kalau saya yang hanyut di arus sungai ini, tidak ada yang memperhitungkan.
Tetapi kalau Anda akan menggemparkan banyak orang dan lingkungan, termasuk anak, istri, atasan, dan disiplin korps sendiri."
Ucapan Mastery, membuat otot geraham orang itu bergerak-gerak.
"Saya juga biasa menghadapi orang seperti Anda ini, termasuk menghadapi binatang buas di hutan!" ucapan Mastery belum lagi habis, tangan orang kalap itu sudah terayun ke wajahnya. Akan tetapi Mastery sudah maju selangkah sebelum tangan itu melayang dan menolakkan bahu kanan orang itu dengan sodokan telapak tangan terbuka. Berulang kali tangan kiri dan kanan akan melayang, tetapi berhenti oleh sodokan ringan pada bahunya silih berganti.
"Ini yang namanya silat bela diri," ucap Mastery seperti bercanda, "dan saya tidak akan membalas, sebelum parah betul."
Perkelahian aneh itu berlangsung beberapa jurus dengan tidak menemui sasaran. Kelihatan seperti orang bermain-main saja.
Sedangkan Sri Sekarwati menjauh dengan menutup wajahnya. Terakhir sekali ketika orang ber-seragam itu
mengayunkan tendangannya dengan sepatu berat, Mastery menahan lutut dan menolakkan kening orang itu sehingga ia terduduk di atas jalanan. Mastery, seenaknya kembali bersandar di terali jembatan, dengan sikap bersiap-siap.
Orang itu bangun tetapi sudah dengan agak tenang.
Memandang Mastery tepat-tepat seperti penuh keheranan, ia berucap, "Saya mau lihat, apa betul Anda berani mengawininya!" Lalu dia seperti memperbaiki letak tali pinggangnya.
"Kita lihat!" ucap Mastery, "sekiranya sekali lagi Saudara melakukannya, Saudara akan tiba-tiba berada di bawah sana!"
Perkataan ini menaikkan darah di wajah orang itu, tetapi cepat reda. Ia langsung naik ke Jip dan menancap gas, seolah-olah mobil itu hendak melompat di jalanan.
"Itu salah satunya?" tanya Mastery.
Sri Sekarwati mengangguk. Sungguhpun kejadian itu dirasanya seperti mustahil, tetapi ia mulai merasa aneh dan kagum kepada Mastery yang tadi dinilainya biasa-biasa saja. Akan tetapi ternyata berani berbuat banyak, bicara dan bertindak kepada oknum berseragam yang terkenal galak dan mudah membuang tembakan itu.
"Mari ke tempatku! Akan kubuktikan apa yang dikatakannya mustahil!"
Dengan perasaan mengambang, Sri Sekarwati mengikuti Mastery. Di dalam pikirannya, semua tak berarti. Jika laki-laki di sampingnya sekarang sudah pergi, kekuasaan kepada dirinya akan terulang lebih keras lagi di masa yang akan datang.
"Saya akan ke rumah dahulu, mengambil pakaian dan lain-lain, serta berpesan kepada tetangga, bahwa saya mungkin akan lama baru kembali."
"Bukan lama, tetapi tidak akan kembali lagi!" Sri Sekarwati tidak menjawab. Ia mulai percaya, bahwa laki-laki di sampingnya sekarang ini tidak begitu suka menghambur bicara. Akan tetapi perbuatan nyatanya telah berbukti sejak pertengkaran dan kekerasan tadi.
"Belum pernah ia mau direndahkan seperti tadi," tukas Sri.
"Aku bukan merendahkan," ulas Mastery, "hanya agar ia malu kepada dirinya sendiri. Jika kepada orang lain malu itu bisa disembunyikan."
Mereka menuju sebuah rumah yang paviliunnya didiami Mastery. Orang yang empunya rumah adalah penjaja obat keliling yang setahun lalu pernah diikuti Mastery mengelilingi pelosok-pelosok kepulauan ini. Kini Marjohan telah punya toko obat sendiri dari hasil perjalanan selama dua tahun. Marjohan agak heran ketika Mastery datang membawa seorang perempuan yang wajahnya kelihatan tidak cerah dan menarik. "Kawan lama?" tanya Marjohan.
"Lama dan juga baru . . .," balas Mastery sambil memperkenalkan Sri.
Hari itu juga, Mastery menyampaikan maksudnya untuk menikahi Sri.
"Kau ini sadar apa tidak!" heran Marjohan bertanya,
"Apa tidak bisa menanti hari esok."
"Tidak!" tukas Mastery, "kalau besok malah berbahaya!"
Marjohan tidak bertanya apa sebabnya. Karena selama dua tahun, ia tahu bahwa laki-laki muda di hadapannya
sekarang terkadang bersifat tertutup sekali. Tetapi biasanya yang ditutupinya itu suatu masa akan diterangkannya juga.
Dan dia juga tidak dapat menolak niat Mastery, karena sedikit banyaknya, Mastery pernah menolongnya ketika sakit dalam pengembaraan mereka di daerah yang terkenal nyamuk malarianya, di sekitar Pekanbaru dan Rengat.
Sehingga pukul 3 sore pernikahan itu telah selesai dengan persiapan yang tergesa-gesa. Sungguhpun dengan biaya yang lebih besar dari pada biasa.
Dua lembar surat nikah langsung selesai hari itu juga.
Yang satu diberikan Mastery kepada Sri Sekarwati.
Sekarwati menangis perlahan-lahan dan menunduk di dalam kamar.
"Apa yang kau tangiskan, Dik," tanya Mastery.
Sri menggeleng, dan perlahan-lahan menyahut, "Seperti mimpi saja, . . Mas baru tadi rasanya kita masih sama-sama asing!"
"Mungkin inilah yang dinamakan orang jodoh," tukas Mastery kemudian menarik Sekarwati ke atas pembaringan.
"Boleh ...?" bisik Mastery ke telinga Sri. "Aku belum pernah menyerahkan diriku kepada laki-laki dengan sepenuh hati, Mas,..... seperti kepadamu hari ini."
Ibarat dua gumpalan besi magnit bertubrukan, mereka berdua terbanting.
Mastery merasa dikurniai kelebihan memandang alam tembus dengan nalurinya yang amat dalam dan yang selama ini belum pernah meleset. Ia tergulung dalam suatu lemparan yang amat tinggi ke fatamorgana yang tak pernah dirasakannya selama ini. Yang masih diduganya,
sungguhpun masih jauh, ada alam lain yang membawanya ke semua kejadian ini.
Sri Sekarwati bagai dilengkapi dengan kelebihan lain.
Seperti seorang pioner yang dilepas dengan persenjataan lengkap melebihi pasukan biasa.
Perempuan surga ranjang! Itulah cap kata hati Mastery kepada Sri.
Keesokan harinya, laki-laki berseragam itu datang lagi dengan Jipnya. Ia menuju rumah Marjohan, seperti tak ragu sedikit pun akan langkah yang diambilnya. Kemudian berkata lantang : "Apa Sri di sini?"
Mastery ke luar dari kamar, "Kami sudah kawin,"
katanya sambil memperlihatkan surat nikah yang hijau kulit luarnya. Pukulan ini menaikkan darah ke wajah orang itu.
Dia menyambar surat nikah itu dengan cepat, dan membacanya dengan mata merah.
"Kalau Saudara koyak, masih ada satu lagi. Dan Anda akan dituduh menghina peraturan Negara ini!" tukas Mastery.
Dia memandang tepat-tepat kepada Mastery, kemudian gagap berkata, "Sebenarnya Saudara ini siapa, sih?" sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman, "Saya mulai yakin, Anda tak mudah berubah oleh sesuatu dari luar, jika Anda sendiri tidak menghendakinya."
"Maksud Saudara?"
"Anda kukuh dan tangguh. Dan saya tidak perlu mengulang atau mencoba Anda lagi."
"Terima kasih . . .," balas Mastery. Kemudian dia memanggil Sri Sekarwati dari dalam kamar. Disuruhnya mereka bersalaman.
"Selamat tinggal, ya Mas Fen . . . kami akan pulang ke Jawa!" ucap Sri Sekarwati dengan suara rata dan mantap jelas. Padahal Sri belum pernah mengatakan rencana itu kepada Mastery.
"Maafkan. . . aku yang sering menyulitkanmu, Sri," ucap Fen dengan genggaman tangan agak menggigil.
"Mungkin memang jalan kita harus begini," sambut Mastery menyaksikan wajah mereka yang tegang kemudian berangsur teduh dan cerah.
Kemudian Fendar melangkah ke halaman dengan menundukkan muka seperti pasukan kalah perang.
Marjohan muncul dari pintu samping, ucapannya seperti bernada ketakutan, "Mengapa orang sehebat itu terpukul sekali kelihatannya?"
"Coba kalau Abang mengundurkannya sampai besok!"
Marjohan menggeleng-gelengkan kepala, "Hampir ribut dan berbahaya!"
Mastery bertanya kepada Sri Sekarwati, apakah ia benar-benar bermaksud pulang ke Jawa. Apa hanya sekedar mengelabui Fendar saja. Ternyata benar, hanya baru di luar tadi bisa dikatakannya. Itu pun kalau Mastery setuju.
Kembali Marjohan yang menyediakan biaya untuk pesawat terbang mereka menuju ke Jawa Tengah.
"Bus saja, sudah cukup" ucap Mastery yang sedang mempersiapkan tas pakaian mereka, dikumpul jadi satu dengan Sri.
"Akh, . . biarlah ganti berbulan madu " sahut Marjohan.
"Bulan empedu .... barangkali . . .," tukas Sri Sekarwati, yang mungkin agak bersemangat karena Prambanan seolah-olah sudah tampak. Dari Talang-betutu, mereka berangkat.
Ketika di ruangan tunggu, masih ada saja telepon dari beberapa orang yang menanyakan Sri Sekarwati. Dengan jujur, Mastery menyuruh Sri menerima telepon itu. Sampai 6 kali, telepon ke bagian Penerangan minta agar dihubungkan dengan seorang penumpang yang akan berangkat dengan nama Sri Sekarwati. Ada yang mengaku dari omnya, dari orang tua, dari abangnya, dan sebagainya.
Semuanya diterima Sri Sekarwati dengan perkataan yang benar. Bahwa ia memang akan pulang ke Jawa, dengan suami yang telah ditakdirkan dalam perjalanan hidupnya.
"Habis, . . . aku sebenarnya tak mau menjawab telepon mereka, Mas," ucap Sekarwati kesal.
"Setidak-tidaknya, aku tahu persis, apa yang kau katakan, memang tidak meleset sedikit pun."
"Tentang seorang Ratu, yang dikejar-kejar seluruh anak Pangeran!"
Sri Sekarwati mengatakan kepada Mastery bahwa di antara yang menelepon ada yang menyangka dia banyak berutang uang kepada laki-laki yang baru menikah dengannya. Dan mereka bersedia membayar utang itu berapa pun jumlahnya, asalkan Sri tidak pergi.
"Nyatanya kau tidak berutang apa pun kepadaku."
"Ya, . . .!" Sri sambil mencubit pergelangan tangan Mastery, "Tetapi lebih dari itu," Mastery agak terpekik.
Beberapa orang yang di ruang tunggu tekejut melihat ke arah mereka. Akan tetapi Mastery memetik-metikkan abu rokoknya. Supaya orang menyangka gemertik api rokok kretek-lah yang membuatnya terpekik kecil tadi.
Ketika Kaki Mastery menginjak tangga pesawat yang akan berangkat, terasa sedikit singgungan sejarah hidupnya.
Mungkin inilah awal ia akan menempuh apa yang diduganya semasa sekolah dahulu. Jadi perkawinan aneh dengan Sri Sekarwati hanya sebagai batu loncatan saja.
Biarpun tak sama, bukankah Adam terusir dari surga, karena Siti Hawa"
Dia mulai teringat kepada perkataan orang tua yang berjumpa selintas ketika di rakit penyeberangan di Muaro Bungo. Mungkin inilah saatnya ia memulai perjalanan hidup baru yang penuh dengan tantangan"
Rasanya memang seperti mustahil. Akan tetapi benar-benar mengherankan Mastery.
Ketika pesawat mendarat di Kemayoran, masih saja ada yang menelepon dari Palembang, untuk menghubungi penumpang yang bernama Sri Sekarwati.
"Tak usah dilayani lagi," sambut Sri sendiri, "Kita kan sudah bukan di Sumatra."
"Itu terserah kau, Sri!"
Sri memetokkan jari Mastery, sehingga ia meringis kesakitan.
Dari Kemayoran kedua sejoli terbang ke Jogja. Dari atas kelihatan kawah-kawah gunung yang menganga. Ada yang mengeluarkan asap. Sebagian hutan-hutan di lereng gunung telah gundul. Jalan-jalan seperti cacing halus yang saling kait berkait ketika pesawat belum terbang terlalu tinggi di atas Jawa Barat.
"Nenek dan kakek pasti terkejut dan senang!" renung Sekarwati, "karena sudah dua tahun aku hanya janji akan pulang. Kakek kalau sakit, mendengar aku pulang, akan langsung bangun dari tempat tidurnya."
"Hebat kakekmu itu?"
"Luar biasa. Terlindas mobil saja berapa kali, tidak apa-apa, kok!" sambut Sri Sekarwati bersungguh-sungguh .
"Mungkin kakekmu punya ilmu."
"Semua orang di sekitar Bokoharjo juga tahu! Beberapa kali sakit parah. Tetapi kalau kulitnya telah terkelupas dan berganti, ia akan sehat kembali. Sudah lebih 100 tahun umurnya."
Ketika sudah mendarat di Jogja, mereka menumpang bus yang menuju Klaten. Naik dokar dari pasar Prambanan, melewati bekas kerajaan kuno Joboan Bokoharjo, mereka sampai di desa Watu Gudik. Tak begitu jauh dari Kali Opak.
Terasa suatu situasi baru bagi Mastery. Seolah-olah dirinya diintip oleh banyak makhluk di dalam perjalanannya.
"Aku kok seperti samar-samar mendengar banyak orang, suara dan orang yang mengiringkan dokar kita ini, Mas."
"Mana aku tahu, ini kan kampungmu."
"Tetapi tak pernah begini, kok," sahut Sri lagi.
Sedangkan kuda dokar beberapa kali terkejut dan meringkik, seperti akan menaikkan kedua kakinya di tengah jalan.
"Wah kuda ini juga tak pernah seperti ini," ucap Sais, sambil melecutkan cemeti ke pangkal paha kudanya, "Dan rasanya, sungguhpun bertiga delman ini rasanya kok berat sekali, Den." Ucapan sais delman yang kelihatannya terheran-heran itu, telah membukakan sedikit hikmah di lubuk hatinya. Mungkinkah ini akan merupakan saat pertama sejarah petualangannya di pulau Jawa"
Kedatangan mereka yang tiba-tiba, dengan kuda delman yang berkeringat deras seolah-olah menarik beban lebih dari tujuh penumpang, membuat kakek dan nenek Sri Sekarwati terpekik dari ruangan dapur.
Pertemuan itu dihiasi dengan tangis, yang tentu saja tangis kegembiraan.
Mastery menyalami kakek Sri yang berpakaian serba hitam. Tubuhnya kurus, tetapi cukup kekar, dan lincah gerakannya. Tidak memakai alas kaki. Tidurnya di atas jerami yang berlapis tikar pandan.  Awal yang menarik dan agak aneh, pikir Mastery. Ia terbawa mulai masuk ke alam yang sama sekali berlainan dengan pengembaraannya yang lain. Malam itu mereka disuruh menginap di rumah Paklek (pakcik) mereka yang sudah lama tidak didiami. Tampaknya Sri Sekarwati, seperti enggan. Akan tetapi Mastery berkata, di mana saja dia akan merasa senang. Mas Sartono, abang Sri juga berkata begitu. Lebih bebas dan aman, jika mereka tinggal di sana.
"Ada . . . anunya . . .," ucap Sri, "nanti Mas heran.
"Ada apanya?"
"Kamar yang satu itu masih seperti dulu, Mas?" tanya Sri kepada abangnya, Sartono.
"Ya, masih. Itu kan tempat samadinya pak-lekmu,"
jawab Sartono. "Bagaimana sih, . . . ayo di sana saja," ucap Mastery sambil memegang tali tas pakaian mereka. Rumah itu pada dasarnya cukup bagus untuk didiami. Akan tejtapi karena sudah lama ditutup saja, maka ketika pintunya dibuka, berbau lembab dan apak. Mungkin oleh udara pengap yang tertutup di dalamnya. Sartono dengan gembira sekali membersihkan seluruh ruangan. Kecuali sebuah kamar yang bagai tak dihiraukannya. Tidak terkunci, hanya pintunya saja dirapatkan.
Ketika mereka telah tinggal berdua, Mastery melangkah ke arah kamar yang terletak di sudut. "Itu kamar tapa paklek," ucap Sri.
"Ada apanya sih?" tukas Mastery. Pintu berdenyit dikuakkannya dengan perlahan-lahan. Kelihatan kamar itu kosong dari perabot. Di tengah kamar yang berlantai semen itu, ada enam lembar papan untuk menutup lantai di
bawahnya. Sungguhpun celah-celah papan itu seharusnya membuat semen di bawahnya terbayang, tetapi yang terlihat hanya kegelapan semata.
"Lubang . . . ya?" tanya Mastery.
"Lahat tempat paklek tapabrata," sahut Sri.
Mastery menarik napas. Semakin jelas baginya bahwa suatu alam lain telah mulai dilaluinya perlahan-lahan namun pasti, dengan segala langkah seperti telah diatur terlebih dahulu. Karena itu ia menyimak-nyimak, apa yang akan terjadi sesudah hari-hari ini berlalu pula .... Sedangkan Sri Sekarwati yang telah menghempaskan diri di atas tempat tidur bagai mengundang Mastery untuk mereguk bulan madu. Apalagi hawa malam dingin, sunyi dan syahdu.

******* III 
RASANYA hari seperti tengah malam. Akan tetapi Mastery tidak mampu mengangkat pergelangan tangan kirinya untuk melihat jam. Ada suatu perasaan mengambang, seolah-olah tempat tidurnya terangkat perlahan-lahan dari lantai kamar. Diiringi sayup-sayup oleh bunyi klenengan dan gamelan. Dan pada ujung setiap irama, gema sebuah gong bagai menggetarkan tali jantung.
Bunyi instrumen klasik itu membuat jiwa terlena di antara sadar dan jaga. Semakin lama semakin jelas dan semakin dekat. Diiringi suara orang ramai, yang kurang jelas makna ucapannya. Dinding rumah mendadak bagai lepas. Mastery merasa seperti berada di alam bebas tanpa batas. Dua orang yang semula sayup-sayup bagai ke luar dari kabut, kini berdiri tidak jauh dari tempat ia terbaring.  "Mengapa kau datang ke mari?" tanya yang seorang, kancing bajunya kelihatan selebar permukaan tutup gelas.
Mastery berusaha menjawab, tetapi kerongkongannya terkunci. Hanya bibirnya saja yang bergerak-gerak tanpa suara. Akan tetapi kedua orang itu tampaknya mengerti apa yang diucapkannya.
"Ada tiga jenis yang datang ke pulau ini, yang pertama sebagai tamu, kedua merampok, dan ketiga ikut melihat hukum!" ujar yang seorang, berpakaian hitam dengan serban merah.
"Aku belum bisa menjawabnya sekarang!" sahut Mastery, dengan hanya menggeliatkan badan di tempat tidur. Sedangkan Sri Sekarwati tidak ada di sampingnya.
Entah memang ada batas, entah Sri pergi.
"Kau hanya boleh menonton seperti orang lumpuh di atas kursi roda, hei petualang!" ujar yang memakai tongkat gada amat besar.
"Bukankah seluruhnya bumi Allah?" bisik hati Mastery.
"Ya, tetapi ketika pertama kali manusia menginjakkan kakinya ke pulau ini, telah mengikat perjanjian dengan kami! Tak seorang pun dapat membuka tali ikatan perjanjian itu!" ucap yang seorang lebih pendek, tetapi bertubuh lebih lebar dan kukuh seperti batu gunung yang mencuat ke luar dari tebing.
Mastery akan memijakkan kakinya ke lantai. Akan tetapi kedua manusia ukuran besar dengan wajah remang-remang itu, seperti mengejek. Mereka mengatakan, bila ia menginjakkan kaki ke tanah dengan tubuh belum disucikan maka ia sama juga dengan seekor singa jantan yang kehilangan bulu tengkuknya, atau harimau kehilangan belangnya. Kaki Mastery terjuntai di tepi tempat tidur.  Mengapa mereka berbaik hati juga untuk mengingatkan kelemahan manusia setelah selesai melakukan hubungan badan dengan perempuan, tidak punya kekuatan untuk berhadapan dengan alam gaib" Apakah ia termasuk orang yang diperhitungkan. Kelihatan oleh Mastery kedua orang besar itu berunding sangat hati-hati dan teliti.
"Pergilah engkau ke Parang teritis dan ke gua yang ada di sana! Penghulu kami menantimu." Dengan tubuh yang amat lemah, karena sebagian kekuatannya disedot ke bagian yang dihidangkan Sekarwati, Mastery mengangguk lesu.
Pada waktu alam samar-samar itu akan berlalu, Sri terlihat berada kembali di sampingnya. Akan tetapi di atas kepala Sri bagai ada sebuah ketopong yang tak sempat diperhatikannya dengan teliti. Karena cepat menghilang dari pandangan alam nyata. Sehingga yang terlihat oleh Mastery hanya wajah istrinya yang tenang terletak di atas bantal.
"Sri!" tegur Mastery sambil mengusap-usap mata untuk meyakinkan diri apakah ia telah berada" di alam sadar atau belum.
"Apa, Mas?" sahut Sri, sambil menggelungkan lengannya ke leher Mastery.
"Kok tengah malam tadi, ada suara riuh penonton diiringi!bunyi gamelan, klenengan dan gong yang sayup-sayup bagai menidurkan roh?"
"Mas betul-betul mendengarnya?"
"Kita baru sore kemarin tiba," ulas Mastery untuk menekankan kepada Sri bahwa apa yang dirasakannya benar-benar terjadi.
"Siang nanti kita lihat!"
"Jauh?"
"Hanya di belakang rumah ini," jawab Sri, "tidak semua orang dapat mendengar suara itu. Terkadang sampai ke Prambanan terdengar seperti orang sedang mengadakan pesta panen. Tetapi orang di kampung sini sendiri tidak mendengar apa-apa."
"Mengapa aku yang baru datang bisa mendengarnya?"
tukas Mastery. Sri mengatakan, bahwa mungkin sekali Mastery pada suatu ketika pernah punya hubungan dengan mereka.
Mastery heran sebab dia bukanlah termasuk suku asli daerah ini. Sungguhpun pada garis keturunan kakek-kakeknya di atas, memang bertalian dengan daerah ini.
Sesudah sarapan pagi, perasaan kembali segar. Mereka minta izin kepada Kakek Mustono, untuk melihat-lihat ke tanah ladang di belakang.
"Kalau ada apa-apa, jangan dilangkahi," ucap Kakek Mustono. Tempat itu tidak begitu jauh dari Kali Opak.
Dibatasi sekelompok hutan bambu yang pucuknya bagai bertaut ke tanah, agak aneh kelihatannya, seperti payung alam. Di bawahnya ada sebuah lapangan lembab, sejuk dan berlumut, dengan tanah agak meninggi, seperti punggung sesuatu yang cembung. Untuk masuk ke dalam, ada sebuah celah rumpun bambu yang terkuak seperti gerbang
"Paklek yang dulu sering bersamadi di sini." ucap Sri  "Tanah kita."
Sri Sekarwati mengangguk. Mereka masuk ke lindungan pohon bambu yang sejuk. Mastery melihat bongkah-bongkah seperti batu besar terjungkir balik. Dia mencungkil ujung batu itu, sehingga kelihatan susunan batu berbentuk
gong jumlahnya 6 buah, terletak di atas sebuah batu panjang. Tampaknya deretan batu berbentuk gong itu bukan satu saja. Ada sembilan buah, yang letaknya tidak lagi serata tanah. Mungkin karena pengaruh tanah lembab dan air tergenang, letaknya tidak lagi rata di atas permukaan tanah.
Mastery, memukul-mukul ranting bambu ke cembungan gong batu. Sambil berpikir-pikir mungkinkah gong batu seperti ini bunyinya berdengung demikian nyata, dan menggetarkan perasaan yang mendengarnya.
"Memang aneh, Mas. Batu, kok bunyinya bisa sampai jauh," ulas Sri.
Mastery tersenyum pahit. Mungkin karena hal itu sulit diterima oleh akal. Sekarwati bercerita, kata orang, bambu yang tinggal sekarang adalah sisa dari bambu yang dibakar ketika Sunan Geseng tertutup oleh hutan bambu. Sehingga badannya ikut hangus, tetapi tidak mati karena tongkat bambu yang diberikan sunan Bonang adalah bambu sungsang ruas, yang dikatakan bambu pak-pak.
Tiba-tiba kaki kanan Mastery terperosok hampir mencapai betisnya. Ia bergantung ke bahu Sri. Sebelum kaki itu ditariknya, sejenak ia tersimak.
"Bagai ada suara makhluk aneh di bawah sana," ucap Mastery.
"Kok ada yang berlubang, ya?"
"Pasti di bawah ini ada rongga yang sebagian telah tertutup," tukas Mastery setelah mencabutkan kakinya.
Sebatang ranting bambu ditusukkannya ke dalam tempat kakinya terperosok tadi lebih sedepa, ranting bambu itu masih masuk terus.
"Memang kadang-kadang orang di sekitar desa ini mendengar suara seperti kerbau melenguh, tetapi lebih kuat dari pada itu. Dan suaranya bercampur auman panjang."
"Di sini juga?" tanya Mastery lalu tambahnya, "Aku akan samadi malam ini di sini."
"Mas masih baru di sini!"
"Bumi ini diperuntukkan bagi manusia yang berakal!"
Hanya beberapa ratus meter dari watu Gudik, bekas kerajaan tua Bokoharjo, terletak bangunan besar dengan kolam-kolam terbuat dari batu bersusun. Ada juga tiang-tiang batu tempat mengikatkan gajah.
Sekarwati menyuruh Mastery membawa sajensajen menurut biasanya jika seseorang akan melakukan nyepi.
Mastery tidak menolak, tetapi Sri-lah yang dimintanya meletakkan sajen pada malam Jumat Kliwon itu. Tidak jauh dari tempat kakinya terperosok, dipajang di atas sebuah tikar terbuat dari daun kelapa yang dianyam.
Bagai embun yang tipis, keliling teduhan pohon bambu menjadi tabir tertutup dengan alam luar. Tabir embun itu mulai bergoyang seperti cairan lilin kental yang menuju berbagai bentuk. Bentuk-bentuk asing yang belum dikenal.
Bentuk itu kini semakin merayap menuju bentuk hampir sempurna. Kini bergoyang-goyang banyak sekali.  Namun masih dengan anggota badan yang tidak sempurna.  Dia muncul dengan dada koyak dan seluruh isi dada itu telah kosong. Ada yang seluruh bagian daging yang tebal, telah habis. Tinggal beberapa bagian yang berjuntaian, seperti akar-akar tergantung. Ada lagi kepala yang bagian atasnya bergelinding ke arah Mastery duduk. Sehingga jelas sekali terlihat isi kepala itu telah kosong. Namun kedua matanya masih mengedip-ngedip. Tiba-tiba tempat itu berubah baunya menjadi anyir, seperti hampir menyamai  bau pasar ikan, atau tempat jagal ternak. Mengapa roh begini yang bermunculan"
"Apa yang merusak mereka demikian ganas?" bisik hati Mastery bertanya di dalam raga yang hening.
Tiba-tiba sebuah teriakan keras disertai erangan mendesah amat kuat terdengar di tengah pemandangan itu.
Suara itu mengerang dengan suara makhluk yang belum pernah ada di dunia ini. Keringat dingin memercik di kening Mastery. Lalu dari bawah tanah timbul sebuah takhta batu yang amat besar, mendukung sebuah tubuh yang lebih besar dari seekor kerbau liar.
Seluruh tubuhnya berbulu. Pakaiannya yang gemerlap, tidak dapat menyembunyikan keseraman bentuknya.
Rambutnya kaku, tegak. Bergoyang-goyang seperti sapu ijuk ditegakkan. Mulutnya lebar mengeluarkan 4 taring yang putih berkilat. Kedua bibirnya yang tebal dan lebar, tidak dapat menutup dua baris gigi yang masing-masing sebesar kotak korek api. Wajahnya sebagian besar berbulu.
Di atas kepala bertengger sebuah mahkota dengan untaian tengkorak kepala manusia.
Dia bersuara amat keras lagi. Dan kedua tangannya teracung ke depan, hendak menyentuh Mastery.
"Kau santapanku hari ini!" ucap makhluk itu. Suaranya berderak-derak seperti bunyi aspal mendidih di dalam drum panas.
"Mengapa harus aku!"
"Darahmu dan keturunanmu berguna untuk kelanjutan umurku," sahut makhluk itu lagi.
Bentuknya hampir menyerupai manusia, tetapi kulitnya mirip dengan kulit kerbau.
"Ya, ya kakekmu dulu yang menyiramkan air ke Mekah yang sedang terbakar, sedangkan dia berada di pulau ini.
Dan sekarang darahnya turun kepadamu."
Mastery teringat kepada apa yang diceritakan orang.
Entah betul entah tidak. Akan tetapi kisah itu terkenal sekali dan tersebar dari mulut ke mulut. Waktu itu kakeknya sedang duduk di kursi tukang pangkas untuk memotong rambutnya. Tiba-tiba kakeknya tersentak bangun dari kursi, dan berteriak, "Mekah terbakar, Mekah terbakar!" Sambil berlari menuju ke selokan. Dengan sebuah tempurung kelapa ia menyiduk air selokan, dan menyiramkannya berkali-kali api sampah yang terletak di dekat sebatang pohon angsana.
Ketika orang pulang dari Haji, orang mengatakan bahwa kakek berada di Mekah. Dan mereka melihatnya ikut memadamkan kebakaran dengan menyiramkan air ke nyala api yang sedang berkobar. Mastery tidak ingat lagi tahun berapa kejadian itu. Di dalam catatan orang tua-tua yang sebagian besar tidak ada lagi, sulit untuk dijumpai. Namun kisah itu menurun kepada anak cucu, semakin lama semakin pudar. Sehingga ada yang menganggapnya hanya dongeng semata.
"Sebelumnya aku ingin tahu, siapakah kau ini!?" tanya Mastery kemudian. Dimulai dengan teriakan keras dan menepuk dadanya, seperti bunyi orang menepuk kasur yang sedang dijemur sehingga sampai terdengar ke seperdua kampung, ia menyahut,
"Akulah Dewatacengkar!!! Raja sembahan manusia di pulau ini dahulunya."
"Dewatacengkar?" ulang Mastery, "bukankah sudah tilam ke laut Selatan ditelakkan Doro Sem-bodo, Panokawan Aji Saka?"
"Wahhhhhhh . . . ., bagi kami tidak ada mati. Yang ada berubah bentuk, atau satu masa menitis kepada bentuk lain!" teriak Dewatacengkar yang baru kali ini berada di hadapan Mastery dengan jelas.
Sedangkan selama ini ia baru mendengarnya dalam sejarah sastro gaib pulau ini.
Bayangan roh manusia yang telah compang-camping seperti daun pisang kering yang koyak-koyak, melambai-lambai ke arah Mastery. Entah apa maksudnya, mungkin mau meminta tolong, tetapi terkadang seperti memanggil agar ikut dengan mereka. Paha dan badan, yang rompal-rom-pal, seperti bekas jepitan kampak besar, jelas kelihatan.
Atau seperti bekas jalannya gigi-gigi besar yang mengiris otot-otot tubuh mereka.
"Kami punya banyak utusan untuk membawa orang-orang berdarah kuat ke mari!" pekik Dewatacengkar.
"Apa aku juga?" terheran-heran Mastery bertanya.
"Wahhhhhhhhaaaaa, .... istrimu itu utusan kami!
Sebelum engkau, tidak begitu kuat yang mengelilinginya.
Tetapi jika engkau, cukup satu saja. Tak perlu tambahan lain. Aku akan bangun kembali untuk menghancurkan orang-orang yang me-musuhiku. Terutama Aji Saka, yang sudah menitis kepada seseorang."
"Aku hanya ingin tahu dengan ilmu, apa sebabnya badanku sangat berharga untuk santapan-mu, hai Raja Raksasa Manusia!"
"Waahhhhhhhaaaaa, . . . ., darahmu sudah hampir menjadi tembaga. Sumsummu, hampir menjadi timah putih dan tidak hitam. Tulangmu hampir menyerupai perak.
Sumsum kuningmu hampir menjadi emas. Dan ototmu, hampir menjadi besi," jawab Dewatacengkar sambil
mencapakkan mulutnya. Seperti perempuan hamil ngidam buah asam. Pada kedua sudut mulutnya yang renggang, keluar air liur yang kental. Meleleh terus sampai turun dan merekat janggutnya yang kasar dan jarang.
Tanah di lingkungan teduhan pohon bambu itu menggeletar bagai digoncang gempa. Tangan
Dewatacengkar yang berkuku kotor bekas darah, terulur kepada Mastery. Kedua tangan itu hampir mencapai lehernya.
Sekali betot, tentu kepalanya akan putus, seperti kelapa tanggal dari tandannya dipelintir monyet.
Entah dari mana datangnya, sebuah cahaya putih menyilaukan selebar sebentuk pedang, menyambar seperti kilat di antara tangan Dewatacengkar dengan lehernya.
Dewatacengkar merasa kukunya panas. Dan panas itu menjalar melemahkan raganya,
Mastery tidak mengetahui ke mana ia harus berterima kasih. Karena terlihat ada makhluk sebagai pengantar cahaya yang amat cepat itu.
Kemarahan yang sangat, membuat Dewatacengkar menendangi tanah di bawah takhta tempatnya duduk.
Sehingga berbongkah-bongkah berterbangan kian kemari.
Suara ribut itu cukup jelas terdengar oleh orang di sekeliling kampung. Apalagi bagi yang mempunyai hubungan darah sejak dahulu kala dengan Dewatacengkar.
Akan tetapi tak seorang pun mau bertanya kepada tetangga di dekat rumah. Paling-paling besoknya baru mereka akan berbisik, "Dengar semalam?" Dan yang ditanya biasanya mengangguk saja tanpa menjawab. Sebab sesungguhnya mereka sudah sama-sama maklum.
Sri Sekarwati pun tidak bisa tidur semalaman. Karena suara teriak dan hardik itu didengarnya jelas sekali. Walau yang terdengar olehnya hanya sepihak. Semula ia akan mengajak kakeknya untuk menjemput suaminya pulang.
Akan tetapi kakeknya melarang.
"Tampaknya suamimu bertitisan kuat dari seberang! Dia tidak akan diapa-apakan. Lain dengan penduduk sini!"
"Kok dia dicobai terus, Kek?"
"Itu harus . . . , apalagi jika dahulu di atasnya ada keturunan penting dan tak kenal dengan restu gaib pulau ini."
Bongkah tanah tempat Mastery duduk, terlempar ke bawah pohon bambu. Ternyata bayangan samar-samar roh yang centang-perenang tadi tidak berani menjamah tubuhnya. Ada yang tidak sesuai ketika mereka akan mengerumuninya. Sesuatu yang menendang rasanya.
Berarti, Mastery bukan jenis makanan biasa.
Takhta tua itu kembali masuk ke bawah tanah. Berderak-derak tanah keras terbelah, akhirnya tertutup kembali bagai disaput angin.
"Masya Allah ... di mana arahnya tadi!" ucap Mastery dengan mata terbuka memandang ke sekelilingnya yang mulai remang-remang karena bulan sabit ujung akhir bulan, ke luar mendahului fajar subuh.
Sampai kepada titisan kakeknya di atas, diketahui Dewatacengkar bagaimana ceruk-ceruknya jaringan gaib mereka ke seluruh pulau yang berserak-serak ini.
Tiba-tiba Kakek Mustono mendadak sakit. Kelihatannya susah bernapas dan dada serta perutnya seperti remuk dipijak-pijak orang.
"Ia marah kepadaku," ucap Kakek Mustono yang dijagai oleh Nenek Misah dengan wajah gundah.
Mastery kini tahu persoalannya. Tanah itu adalah tanah warisan dengan Kakek Mustono sebagai kuncennya, maka penghuninya marah karena Kakek Mustono tidak dapat menggaet Mastery untuk dijadikan makanan bergizi tinggi bagi kelanjutan misi mereka pada suatu masa. Jika Mastery dapat ditaklukkan, Dewatacengkar akan dapat menitis kembali kepada manusia biasa. Yang secara tidak langsung akan mengobrak-abrik kehidupan manusia nyata.
"Biar bagaimanapun, . . . jangan mau sudah cukup banyak cucu di atas entah berapa jumlahnya yang telah menjadi korban!" kata Kakek Mustono dengan suara lantang sungguhpun tubuhnya lemah.
Sri Sekarwati menceritakan, ketika bentak-bentak makhluk pemakan manusia itu terdengar sampai ke kampung tetangga, ada perempuan cantik datang dengan kereta kuda, naik dari tepi kali Opak.
"Semalaman aku tak bisa tidur, Mas!" ucap Sri, "Ia menjagaku terus. Katanya kalau Mas berhasil diambil Dewatacengkar, kerajaan lautnya akan terancam seperti dahulu, Mas."
Bukan itu saja. Dalam keadaan mengigau, Kakek Mustono meracau. Ia menceritakan, bahwa seluruh kerajaan gaib di kaki gunung, bersiap-siap menghadapi Dewatacengkar yang akan merajalela kembali seperti biasa jika ia berhasil mendapat ti-tisan kekuatan dari darah seseorang yang berketurunan tangguh.
Mastery tersimak dengan kejadian yang saling sambung itu. Apakah yang dikatakan orang tua sekian tahun yang lalu di Muaro Bungo, mungkin mempunyai alasan untuk dipercayai dan diperhatikan"
Yang anehnya, sejak kejadian itu rumah tempat mereka tinggal setiap malam dipenuhi suara orang dan langkah-langkah berat. Yang paling aneh dan sulit ftntuk diduga, mereka selalu datang ketika keduanya sedang melakukan hubungan badan. Jadi Mastery tidak berani memijakkan kakinya ke tanah. Yang dahsyat dan merindingkan bulu roma sehingga mereka sama berbaring di tengah malam dingin tetapi dengan keringat berbintik-bintik di kening, begitu selesai mereka terkapar, terdengar seperti goni berisi sesuatu diseret sekeliling rumah. Dicelah-celahi dengan
suara sepasang kaki berat yang berdebuk-debuk di atas tanah.
"Aku sebenarnya ingin tahu bagaimana bentuknya,"
ucap Mastery sambil melihat Sri Sekarwati yang menengadahi langit-langit kelambu dengan mata tak berkedip.
"Tak usah, . . . biarkan saja. Dia kan cuma di luar . . . !"
ucap Sri. Lalu terdengar bunyi seperti orang mengiris tulang dengan geraham dan gigi. Dan entah bagaimana besarnya mulut itu. Sehingga setumpukan tulang, bagai dikacau di dalamnya. Berlaga-laga sebagian dengan tulang geraham dan gigi depan.
Seperti ada dua golongan yang datang. Yang satu takut terancam, karena Dewatacengkar mendapat kekuatan untuk menitis kembali. Yang lainnya seperti memperkenalkan diri agar dikagumi, dan menerima mereka sebagai kawan sebarisan.
Muncul lagi satu keganjilan. Tiba-tiba saja Sri Sekarwati ingin kembali ke Sumatra. Tak betah tinggal di Jakarta sekalipun. Apalagi di tempat kelahirannya sekarang.
Ini tentu suatu rencana aneh, menurut pikiran Mastery.
Yang mulai ingin menyelusuri sampai di mana akhir semua kejadian yang aneh yang mulai mendatanginya. Sementara itu Sri kelihatan semakin tak sehat. Dan wajahnya kelihatan murung, sungguhpun biaya hidup mereka cukup. Karena uang simpanan Mastery masih ikut memberi keuntungan kepada Apotik Marjohan di Palembang.
Apakah ingin kembalinya Sri ke Sumatra sebagai salah satu jalan untuk mengusirnya dari pulau ini" Agar tidak ada yang merasa terganggu dengan kehadirannya.
Apakah memang Sri dipengaruhi mereka untuk mengajaknya pindah kembali ke seberang" Wah, ....
alangkah peliknya kekuatan-kekuatan tidak tampak yang sedang mengelilinginya seperti jaringan benang laba-laba ini. Sungguhpun halus tetapi berperekat yang amat kuat.
"Pulanglah kau duluan ke Medan. Di sana kan ada makcikmu! Aku menerima uang cukup untuk membeli rumah sederhana berikut perabotnya dari Abang Marjohan.
Kau menumpang saja dahulu dengan Makcik Saranun. Dia dan suaminya, kan berjualan," anjur Mastery ketika Sri berkeras untuk ke seberang lagi. Tak ada alasan yang pasti, mengapa Sri Sekarwati merindukan pulau seberang.
Sedangkan dalam soal hubungan lain, mereka cukup serasi, dan sulit untuk saling meninggalkan begitu saja.
Setelah seminggu lamanya, baru surat dari Medan datang mengabarkan bahwa Sri telah ditolong suami makciknya membelikan sebuah rumah sederhana. Sebagai usaha sampingan, ia mengikuti makciknya berdagang kain.
Untuk bertahan hidup di kota, Mastery berusaha mencari pekerjaan di perusahaan swasta. Di pemerintahan, ia memikirkan akan ikatannya. Sehingga mungkin tidak dapat bertahan lama dengan kecenderungan hatinya untuk tidak terlalu terikat.
Akan tetapi tak satu pun perusahaan yang mau menerimanya dengan alasan yang tidak jelas. Pada lamaran pertama, ia lulus. Namun setelah dipanggil, Mastery tidak diterima. Sebagai basa-basi, disuruh saja pulang dahulu menunggu panggilan. Berpuluh perusahaan melakukan dirinya seperti itu. Padahal di dalam testing dia selalu mendapat nilai yang baik.
Terkadang ia berpikir, ada apakah di dalam dirinya, sehingga orang tidak begitu serius memandang kehendaknya untuk bekerja"
Beberapa orang tua didatanginya untuk minta nasehat ketenangan batin. Akan tetapi semuanya tidak dapat memberi jawaban. Malah ada yang mengatakan, "Anak ini sebenarnya tidak memerlukan kerja seperti orang lain."
Sedangkan yang tidak bekerja itu hanya raja atau Ratu menurut pandangan Mastery.
Ada lagi, didatanginya seorang tua yang dikatakan orang sebagai banyak tahu meninjau nasib seseorang untuk masa yang akan datang. Akan tetapi Kiai itu malah pergi meninggalkannya begitu Mastery kelihatan akan memasuki pintu halaman rumahnya. Sehingga ia menjadi penasaran, dan memegang lengan Kiai Makruf itu.
"Jelek-jelek saya ini tamu, Pak!" ujar Mastery, "Bapak kok mau menghindar dari saya jum-pai.
Kiai Makruf tidak melihat tepat ke wajah Mastery. Entah apa yang kelihatan olehnya di wajah itu.
"Saya tak dapat memberikan petunjuk apa-apa kepada Ananda," ujar Kiai Makruf, "karena jalan hidup Ananda telah demikian lengkap sehingga setiap simpangnya penuh penjagaan. Sekiranya saya coba mengungkapkannya mereka pasti kurang senang kepada saya."
Kiai Makruf mengatakan, ada sebuah tanda pada Mastery yang tidak bisa disembunyikan kecuali jika ia memakai topeng. Ujung hidungnya berkilau, seperti ada debu aluminium. Itu menjadi perhatian makhluk gaib, di mana pun Mastery berada.
"Pergilah engkau secepatnya ke makam Syeh Jambak di seberang!"
"Mengapa saya harus ke sana, Kiai ?" tanya Mastery.
Kiai Makruf mengatakan, bahwa di sana ada yang akan dijumpainya. Seminggu kemudian, setelah kiriman, uang dari Marjohan tiba Mastery berangkat ke tempat yang dikatakan Kiai Makruf. Setelah terlebih dahulu bertanya-tanya letak makam itu kepada guru-guru pesantren dan ulama setempat. Makam itu kelihatan bersih sekali di sekitarnya. Tak ada daun kering selembar pun di atas rumput yang bagai dirawat. Sebuah pohon mengkudu besar tumbuh meneduhi makam itu. Akan tetapi tidak ada kelihatan daunnya yang gugur, atau buahnya yang jatuh ke bawah. Satu malam ia riyadoh di bawah pohon besar itu.
Lewat pandangan mata gaibnya, kelihatan ada seseorang menghuni pohon itu. Tinggi besar, dengan serban dan jubah berwarna biru, sampai ke mata kakinya.
"Siapa engkau . . . ," tanya Mastery.
"Aku yang menjaga makam ini, dan membersihkannya setiap waktu," jawabnya. Sangat dahsyat bunyinya.
"Sejak kapan kau berada di sini?" tanya Mastery lagi dengan memicingkan matanya. Makhluk tinggi besar itu menjawab, bahwa ia sudah mengiringkan Syeh itu sejak hidupnya. Sebagai khadam, sekalipun tidak diminta.
"Aku yang mengisi guci air wudunya. Aku yang mencuci serban dan jubahnya, dan aku juga yang membentangkan tikar sajadahnya, dan ber-imam di belakangnya ketika ia shalat."
Makhluk itu sangat hebat. Dengan ikat pinggang merah lebar yang pada bagian depan agak ke kanan tersisip samsir.
Sebentuk pusaka atau senjata tajam, yang asing bentuknya.
Dengan mata pusaka bergerigi hampir menyerupai gerigi mata gergaji balok kayu. Sedangkan hulunya berkepala naga.
"Jika engkau ingin memanggilku, pencetlah ujung hidungmu," ucap jin itu dengan hormat sambil membungkukkan badannya di hadapan Mastery,
"hidungmu itu, seperti antene gaib yang getarannya menarik perhatian seluruh makhluk gaib di mana pun kau berada.
"Namaku Antasias," ucap jin saleh itu lagi, "tetapi jangan kau gunakan namaku itu untuk memaksaku melakukan sesuatu yang tidak diredhoi Tuhan."
"Aku tak mau berjanji! Karena aku pun tidak perlu kau bantu!!!!"
"Terimalah bantuanku, . . karena satu saat kelak kau akan menghadapi bahaya yang amat besar, dan sulit kau tolak," tawar jin perkasa itu lagi.
"Tidak.....!"
"Aku membantumu seikhlasnya."
"Tidak!!!!" ucap Mastery lebih keras, dan menadahkan kedua telapak tangannya ke depan dada. Mastery membarutkan kedua tangannya ke batu nisan Syeh Jambak yang hampir dilupakan orang. Ia meneruskan perjalannya ke Medan, untuk menjumpai Sri Sekarwati, yang telah lama tidak menyuratinya.

MASTERY heran karena kelihatan Sri agak berubah dari biasanya. Mungkinkah karena mereka telah berjarak" Sri membuka sebuah restoran kecil. Makciknya yang membantunya memasak segala sesuatu.
Sekarwati ingin agar Mastery meninggalkan Pulau Jawa.
Akan tetapi Mastery mengatakan akan bertahan selama beberapa tahun, sampai ia mendapatkan kerja yang serasi
dengan hidupnya. Sempat terjadi ketegangan yang tak mungkin ke-mauan mereka berdua saja. Sampai akhirnya Sri Sekarwati mengatakan kepada Mastery, bahwa Kakek Mustono yang menyuruh Sri untuk kembali ke seseorang bernama Mastery. Agar hidup mereka langgeng dan aman.
"Apa alasan kakek?" usut Mastery, duduk di pojok restoran minum kopi dan sarapan pagi.
"Katanya . . , Mas tidak begitu disenangi mereka di Pulau Jawa. Melintas di pikiran Mastery mungkin inilah sebabnya mengapa selama itu ia mencari kerja yang sesuai, tetapi tak satu pun perusahaan yang bersedia menerimanya sebagai karyawan. Sungguhpun pada testing ia mencapai nilai terbagus. Keadaan jadi berubah setelah orang-orang penting di perusahaan itu berhadapan dengannya.
"Aku tau itu, . . . sungguhpun sebenarnya bukan manusia biasa saja yang berbuat demikian kepadaku. Tetapi aku telah mengambil keputusan, untuk melanjutkan usahaku mengungkapkan apa arti terpendam di belakang semuanya ini, Sri! Apa artinya semua ini!"
"Aku selalu didatangi mimpi-mimpi buruk selama di Jawa!"
"Seperti mengusirmu untuk membawaku?" tanya Mastery.
"Begitulah, . . . mungkin!"
"Aku akan bertahan! Biarpun hubungan kita terancam!"
tegas ucapan Mastery yang penasaran mengenai apa yang telah dialaminya.
"Kok berantem?" sambut Makcik Sri yang muncul dari dapur.
Mastery mengubah tingkahnya, menutupi apa
sesungguhnya yang menjadi pokok persoalan di antara mereka berdua. Wisik baikkah yang membawa dirinya kawin dengan Sri Sekarwati" Dan wisik apakah yang membuat Sri seperti menariknya kembali ke Sumatra meninggalkan Pulau Jawa" Kabur dan berkunang-kunang makna semua yang terjadi. Yang belum jelas hikmahnya.
Masih gaib! Masih samar!
Mastery melayangkan sudut matanya kepada laki-laki yang baru memarkir sepeda motornya di sisi restoran. Laki-laki itu pun beradu pandang dengannya sejenak. Kemudian sama-sama memalis. Walau Mastery, merasa seperti pernah kenal dengan laki-laki itu.
Diperhatikannya lebih nanap. Benar! Ia kenal laki-laki yang kebetulan duduk hampir berhadapan dengan dirinya, yang dari pojok menghadap ke tengah ruangan.
"Maaf . . .!" ucap Mastery, "Kalau tak salah Anda pernah di Langsa!"
Laki-laki itu mengerutkan kening sejenak, baru menyahut, "Benar .... benar!!! Tetapi Anda siapa . . . ya. . ., akh . . . rasanya pernah satu sekolah!"
"Aku Mastery____!"
"Mastery . . ., ya Mastery .... yang banyak aneh-aneh itu
.'. . !" setengah bersorak laki-laki itu bangun dari kursinya, mengulurkan tangan kepada Mastery, dan menyebut namanya, "Hasbullah . . ., anak Matang kuli . . . !"
Mastery tertawa, karena baru ia ingat Hasbullah . .. , yang sering nyontek dari belakang bangkunya.
Keduanya segera terlibat pembicaraan yang
mengasyikkan. Karena banyak yang teringat ketika mereka sama-sama sekolah. Hasbullah mengatakan, sekarang ia
wartawan salah satu koran Sumatra Utara. Sambil mengajar di sebuah SMP swasta.
"Kau di mana sekarang?" maksud Hasbullah sebenarnya menanyakan pekerjaan Mastery.
"Aku bingung . . .!" ucap Mastery.
"Kau memang termasuk kawan yang membingungkan sejak sekolah dahulu juga!" ulas Hasbullah, "Kau masih ingat peristiwa si Alibasyah! Ia menjerit-jerit mengatakan dunia mau kiamat. Setelah melompat dari dalam kelambu menuju halaman asrama!"
"Eh,... eh ... ya lucu ya?"
"Apa yang ketika itu kau perbuat, Mas?" tanya Hasbullah, "karena kau yang berdampingan tempat tidur dengan dia."
Mastery menceritakan, sorenya ia mandi di sungai Langsa. Di tepi guguran tebing sungai, ia menemukan sepotong tulang seperti tulang ujung kelingking orang.
Malamnya, iseng-iseng tulang kecil itu diletakkannya di atas kelambu tidur Ali-basyah.
"Belakangan baru kuketahui, bahwa itu bukan tulang kelingking manusia!" ucap Mastery.
"Jadi!"
"Tulang sulbi orang mati rupanya," sambut Mastery lagi,
"bukankah di atas tebing sungai itu tadinya letak tanah wakaf yang terkikis oleh banjir?"
Hasbullah bertanya, ke mana akhirnya benda itu dibuang Mastery.
"Besoknya kupulangkan kembali ke tempat kuterima pertama kali. Dan malamnya aku bermimpi, didatangi
seorang anak perempuan yang masih perawan. Ia berterima kasih kepadaku. Ia meninggal karena sakit panas."
Hasbullah menceritakan, sesudah penyerahan Kedaulatan teman-teman sekolah .berserakan banyak juga yang ke Pulau Jawa. Ada yang jadi Jaksa, Militer, pedagang besar, dan guru sekolah lanjutan. Akan tetapi ada juga yang hilang begitu saja.
"Termasuk aku yang hilang itu," sambut Mastery.
"Andai saja semua orang mengetahui di mana ia harus berdiri!" i
"Itulah yang sekarang ingin kuketahui," sambut Mastery lagi, "sejak sekolah dahulu, kalian menuduhku sebagai anak jin!"
"Seharusnya kau mencari orang tua yang dapat mengungkap rahasia dirimu, Mas!"
"Sudah beberapa kali, ... tetapi malah mereka takut."
"Kok begitu, .... ya" Kau memang masih aneh," tukas Hasbullah, "tetapi kalau kau mau, kutunjukkan orang yang dimaksud. Masih muda tetapi banyak orang tua alim mengunjunginya. Namanya Datuk Tuah. Nama batinnya nama seorang Syeh yang telah wafat ratusan tahun yang lalu!"
"Eh ... hampir lupa, kenalkan dahulu, ini istriku, Sri Sekarwati!" ucap Mastery memegang lengan Sri.
Hasbullah bersalaman, dan lebih keras dari berbisik, ia berkata, "wah .... nama yang jarang terdengar!"
"Mungkin . . . juga perkenalan kami, mungkin jarang juga terjadi bagi orang lain," ucap Mastery.
Entah apa yang kemudian dirundingkan kedua bekas teman sekolah itu akan tetapi akhirnya Mastery memberi
tahu Sri Sekarwati, bahwa ia akan pergi sampai malam bersama Hasbullah. "Kau yakin dia orang hebat?" tanya Mastery membonceng di belakang Hasbullah.
"Kurasa, . .. dari yang lain dia hebat. Kau lihat saja nanti. Haji sekalipun, ingin menjumpainya!"
Mereka tiba sesudah waktu isya. Di depan beranda kelihatan banyak orang berkumpul. Biasanya sesudah isya, baru Datuk Tuah menerima kedatangan orang yang bermaksud menjumpainya.
"Kita duduk di halaman saja," ujar Hasbullah, sambil menyeret dua kursi rotan kecil. Terasa pinggul mereka agak terjepit karena kursi itu adalah kursi anak-anak bermain di halaman rumah.
"Bagaimana rupanya."
"Akh .... kau tak sabar saja. Nanti juga kau akan melihat sendiri. Manusia biasa, bukan malaikat," jawab Hasbullah.
Beberapa orang sudah masuk bergantian. Ada yang keluar kembali membawa piring yang telah bertulisan Arab. Ada juga yang membawa tujuh lembar daun sirih yang telah dirajah. Dua orang Haji yang dipanggil, telah duduk kembali di beranda rumah.
"Itu yang di halaman . . . suruh masuk!" ujar suara dari dalam. Membuat beberapa orang melengos ke kiri ke kanan, mencari siapa yang dimaksud dari dalam kamar Datuk Tuah.
"Yang mana Tuan Syeh . . . ?" tanya orang yang berdiri di depan pintu. Yang kerjanya, mungkin mengatur tamu masuk.
"Yang berdua, . . . yang seorang suruh masuk!" ucap suara dari dalam kamar.
Hasbullah berdiri, terdengar suara itu kembali, "Bukan . .
yang seorang lagi," ulas suara itu.
Mastery pula yang berdiri di samping Hasbullah. Soal yang kecil itu menarik perhatian banyak orang yang hadir.
Ada apa maka orang tua dari dalam memanggil orang yang sama sekali jauh, dan tidak kelihatan dari dalam rumah itu"
Mastery melangkah ke beranda rumah sambil
mengucapkan salam kepada tamu yang duduk. Dan tertegun-tegun masuk ke dalam rumah.
Matanya bertatapan dengan seorang laki-laki, yang wajahnya seperti batu pualam. Licin dan memancarkan cahaya di bawah kulit keningnya.
Mastery mengulurkan tangan kepada laki-laki yang kelihatan baru berumur 30 tahun lebih itu akan tetapi tangan kiri orang itu yang bergerak menyambut salamannya.
Mastery menarik tangannya kembali, dan berkata, "Saya belum pernah melihat orang menyambut salam dengan tangan kiri."
Mastery mengulurkan tangan kirinya pula. Dan mereka bersalaman. '.'Apa sebabnya Pak Datuk menggunakan tangan kiri, kalau boleh saya tahu?"
Sebentar raga Datuk Tuah itu memandang Mastery nanap, "Kau ini ... . orang yang tak mudah tunduk oleh sesuatu di luar kebiasaan yang berlaku. Ini untuk menjaga badan si Datuk ini. Terkadang ada orang yang datang menyalami dengan ilmu. Karena itu aku tabiri dia dengan tangan kiri."
"Kalau boleh saya tahu .... siapakah akan saya sebut nama Bapak yang di dalam raga ini?" tanya Mastery dengan penuh sopan, dan bersila di hadapan Datuk Tuah.
"Sebenarnya nama itu tidak ada . . . Coba kau cari nama itu di badan si Datuk ini. Yang mana dia dan yang mana aku! Di akhirat kelak, nama itu hanya merupakan cahaya, dari berbagai cahaya aksara yang warnanya sesuai dengan amalan ibadah masing-masing!" ujar orang di dalam tubuh Datuk Tuah.
Hasbullah diam-diam duduk di sisi kusen daun pintu, memasang telinga mendengar soal-jawab aneh itu.
"Dahulu ibunya telah 11 tahun kawin tidak punya anak.
Ia datang bernazar ke makamku. Sejak itu aku telah menjaganya dari dalam rahim. Karena ada jembatan rahim yang bermaksud merusak janin di dalam kandungan ibunya."
"Makam Syeh Burhanuddin Ulakan!" sambut Mastery dengan takjim.
"Dari mana kau tahu"!" ucap Datuk Tuah lagi, "Kau laki-laki mempunyai daya hayal yang tajam, dan banyak mendapat hikmah dari alam. Kemudian raga Datuk Tuah memanggil! Haji Nurdin dan Haji Rusli, ke dekatnya.
"Kalian lihat dia ini...," ucap Datuk Tuah, "entah mengapa dia mengetahui masa yang akan datang. Dan yang gaib-gaib banyak menguangkannya di luar sana. Perjalanannya masih panjang. Berlainan dengan kalian Haji Rusli dan kau Haji Nurdin. Kau telah diberi jalan, sampai di sini saja, menghidupi keluargamu, mengajarkan ilmu Agama sesanggupmu di sekeliling tempat tinggalmu. Tetapi dia ini lain . . . .sekarang belum tampak."
Haji Nurdin dan Haji Rusli bersalaman dengan Mastery yang jauh lebih muda dari mereka berdua.
"Kau ini kelihatannya diiringkan oleh orang-orang saleh dan baik-baik. Coba aku akan menghubungkan dirimu dengan yang lebih tinggi. Misalnya dengan Syeh Abdul Jailani dan lain-lain."
Mastery tidak menjawab. Tangan kanan Datuk Tuah terulur kepadanya. Mereka bersalaman ketat. Sampai akhirnya raga Datuk Tuah bergoyang ke samping kiri seperti tertidur.
"Ia sedang pergi . . .," ucap Haji Rusli. Sampai kepala Datuk Tuah terletak ke lantai. Diangkat Haji Nurdin kepala itu perlahan-lahan, dialasinya dengan sebuah bantal kecil.
Datuk Tuah seperti tertidur dengan napas teratur'.
Tiba-tiba ia bangun cepat sekali dan dengan gerak gelisah, ia berkata kepada Mastery, "Tak mau mereka turun
. . . .aku yang jadi malu! Rupanya ibadahmu masih ompong. Yang kulihat tadi rohmu, dilapisi oleh roh kesalehan kakekmu dahulu."
Ketika itu datang seorang perempuan mengatakan suaminya sakit perut yang berat sekali. Sehingga memutuskan pembicaraan mereka berdua.
"Bawa piring ke mari....." ucap raga Datuk Tuah.
Tergesa-gesa terdengar piring berlaga di dapur. Kemudian dari tangan ke tangan, sampai kepada Datuk Tuah.
Dengan sebuah spidol, Datuk Tuah berisi roh Syeh itu menuliskan sederetan aksara merangkum ayat, di permukaan piring dengan susunan melingkar. Mastery kagum melihat bentuk aksara yang klasik dan bagus, itu walaupun dituliskan secara cepat. Tak mungkin orang dapat melakukan yang begitu kalau bukan bekas guru pesantren, atau seorang kiai.
Di tengah piring itu dibubuhkannya sebuah tanda, hampir berbentuk bendera kecil, dengan bentuk ujung tombak pada keempat sudutnya. Kemudian dibalas lagi dengan sebuah bentuk trapesium di atas bentuk bendera itu, juga mempunyai ujung tombak pada keempat sudut bidangnya. Lama roh Syeh itu meletakkan ujung jarinya di tengah bidang lambang aneh itu.
"Laburkan air masak putih ke dalam piring ini, dan minumkanlah kepada suamimu. Ia sakit jem-balang perut,"
ucap Datuk Tuah. Mastery kemudian bertanya tentang lambang yang aneh di tengah kalimah tadi.
"Satu masa nanti, . . . kau akan memperoleh ilmu tentang itu. Ilmu yang dituntut bersusah payah seperti menyelami mutiara, tentu lebih tinggi nilainya dari pada batu kerikil yang mudah mencarinya di sepanjang jalan!"

*** IV 
Lereng Gunung Cereme sebelah timur, pada suatu lekukan lembah, tak disangka orang, ada sebuah ceruk berpintu kecil. Dahulunya mungkin gelembung-gelembung magma pulau ini, diiringi oleh buih-buih lahar telah men-ciptakan banyak gua yang bertebaran di seluruh kaki gunung itu.
Lubang masuk gua itu, kecil. Hanya bisa dilalui dengan membungkuk. Di bagian depan ada dua pohon besar, seperti pintu gerbang yang kukuh bentuknya. Dengan rimbun daun yang rapat di bagian atasnya. Anak-anak pohon turi yang hampir seluruhnya sebesar pergelangan tangan, berbaris tegak lurus seperti menutupi pintu masuk itu dari pandangan sekilas mata orang biasa. Turun melalui tangga batu alam sebanyak tujuh langkah ada sebuah aula suram dengan langit-langit gua yang melengkung.
"Apa katamu?" suara parau dari dalam gua, menggema dibalas-balaskan dinding batu yang berceruk-ceruk.
Sehingga tak jelas dari mana asal suara itu, 'Perempuan itu mencintainya?"
'Padahal ayah perempuan itu menyuruhku
membunuhnya!" susul suara itu lagi. Yang berbicara berwajah berewokan dan rambut tersanggul di atas kepala.
Walau dia sebenarnya laki-laki dengan tubuh kotor hampir berlumut.
Sepintas lalu dia seperti orang gila yang berbicara dengan sederetan patung-patung tanah liat lembab. Patung-patung seperti mummi yang diberi rambut manusia. Dan rambut itulah yang sedang berbicara.
"Kau bertujuh telah kuutus kepada laki-laki itu, mengapa kau kembali tanpa hasil?" tanya suara serak itu lagi seperti marah seorang pemimpin pasukan kepada anak buahnya yang tidak berdisiplin.
Anehnya mulut patung-patung itu seperti bergerak-gerak menyahut segala pertanyaan. Yang terpilih di antara tujuh boneka utusan berisi roh itu, mengatakan bahwa gadis yang ayahnya langganan mereka telah jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang berbahaya untuk keutuhan pengaruh mereka di masa yang akan datang.
Mulut patung-patung yang lebih besar bergerak-gerak,
"Kami telah mencoba untuk membunuhnya dari dalam dan dari luar. Tetapi ada orang yang menyaksikan perbuatan itu dari luar. Sungguhpun dia diam saja, tetapi getarannya mengilukan kami."
"Sehingga hidung dan mata kami mengeluarkan darah!"  tambah patung lain di sisi sebelah kiri penghulunya.  Jika masuk ke tempat orang menempa cangkul dan parang, kita akan tercium bau arang dan pedasnya bau besi panas yang ditempa. Sedangkan ruangan di dalam gua berbau sengit, hampir sama dengan bau udara panas yang keluar dari panggangan ikan. Atau lebih mendekati dari itu, bau sengit seperti uap bangkai dibakar.
Sejak kemarin Tuan Wulungan telah mengantarkan uang berjumlah satu juta rupiah untuk memasang sekat agar anak gadisnya yang bernama Nelly Ngantung tidak mendekati seorang laki-laki yang sangat dibencinya.
Persoalan perkenalan mereka hanya sepele, tetapi berbuntut panjang, menjadi pergaulan intim yang menyebabkan Nelly Ngantung seperti tergila-gila kepada laki-laki itu. Sungguhpun laki-laki itu telah mengatakan kepada Nelly, bahwa ia telah berkeluarga. Tuan Wulungan
tak suka anak gadisnya jatuh cinta kepada seorang pengangguran. Merasa laki-laki seperti itu, seperti diutus untuk mempereteli  kekayaannya.
"Akan kutahan makan kalian jika tak ada hasilnya,"  suara orang seram itu menunjuk ke deretan patung-patung tanah di depannya.
"Ampun . . . Buraksa, ... aku tak mau lapar," ucap boneka yang di sebelah kanan, "aku selalu ke-bagian yang berumur 3 bulan. Sudah agak keras dan alot dagingnya."
"Kau belum pantas untuk menyantap yang berumur tiga hari atau seminggu," sahut Buraksa dengan setengah menghardik. Dinding gua seperti ikut menggeletar, dan boneka-boneka itu tergeser diterpa udara keras dari mulutnya.
"Kau . . . Jarkuz, . . . jika gagal lagi, santapan-mu kuturunkan menjadi yang berumur tujuh bulan ... .!"
"Aduh kerasnya, Buraksa. Mana bisa dagingnya dihirup begitu saja," jawab yang disebut Jarkuz sebagai kepala dari tujuh orang.
"Atau kau kulepaskan mencari makan sendiri. Memakan tulang ternak seperti biasa. Kalian tidak akan menjumpai makanan senikmat di sini, mengerti!!"
"Ampun, Buraksa, . . . ampun, kami takut lapar, dan takut tak bisa makan tulang lagi. Kami akan pergi mencarinya lagi asal saja kami disediakan santapan yang tujuh atau tiga hari, Buraksa Maharaja!"
"Minggat . .. sana! Sampai berhasil! Uang yang kuterima telah menjadi utang, tahu" Juga untuk membeli makananmu!" hardik Buraksa membuat boneka-boneka itu bergerak tersentak. Diiringi oleh deru hembusan angin di
depan mulut gua, mendesis mereka menuruni gunung dengan perintah berisi ancaman jika tidak terlaksana.
Utusan gaib itu membentuk wujud mereka seperti kabut bintang. Berputar-putar seperti kitiran baling-baling mesin kapal di bawah air. Kitiran dengan warna pelangi, menimbulkan bunyi ledakan di atas bubungan kamar tidur sebuah rumah.
Turun ke bawah seorang laki-laki yang sedang berbaring.
Mundur-maju kitiran warna pelangi mengeluarkan bau amis itu, mendekati tubuh yang sedang terbaring. Tubuh laki-laki itu menggeletar dengan lutut membengkok dan mata setengah membelalak. Di beberapa tempat, urat nadinya menggembung seperti akan pecah. Kemudian hening setelah semua duduk di sendi-sendi yang aman.
Laki-laki itu tak lain dari Mastery, yang telah kembali dari Medan.
Ia masih sempat memperhatikan persendiannya yang menggeletar di luar kemauannya sendiri itu. Sampai seluruh tubuhnya berkeringat. Di dalam kerongkongannya seperti ada sesuatu yang memeras, menahan napas, dan mempersempit tenggorokannya. Sehingga hampir-hampir saja paru-parunya membengkak, karena napasnya hampir tumpat.
Dengan zikir yang diperolehnya dari roh di dalam raga Datuk Tuah, dibarut Mastery kedua kakinya dengan ujung jari yang telah diberi air langit-langit mulutnya. Ada suara-suara mengeluh kesakitan seperti berkeliaran di dalam tubuhnya tetapi tidak mau keluar. Dicari Mastery dengan ujung jarinya dari sepanjang tulang punggung sampai ke setiap celah jari kaki. Akan tetapi suara orang bertengkar di dalam dirinya tetap terdengar, sungguhpun semakin lama semakin sayup.
Mungkin karena tingkat kesadarannya sudah sangat tinggi, biarpun dalam keadaan goyah seperti itu, dia masih dapat mendengar apa pembicaraan mereka di bagian-bagian tubuh yang tersembunyi.
"Kau .... gagal lagi," kata suara yang lebih besar. "Ada apanya ini orang" Kok susah sekali dibunuh. Biasanya yang lain, tak sampai berhari-hari!" Ricuh di dalam dirinya saling tuduh dan saling menyesali.
Mastery mengumpat dengan wajah tegang ke segala arah persendiannya, "Setan kalian,.....siapa yang menyuruh kalian menggangguku" Siapa?" Tak ada sahutan. Mereka diam sambil bersembunyi di sendi-sendi yang paling aman.
Mastery merasa ruang dadanya dipenuhi gas panas seperti berasal dari knalpot mobil. Baunya busuk, tercium oleh hidungnya sendiri. Beberapa kali ia melepaskan uap panas itu dengan mulut ternganga melompatkan udara itu ke luar.
Ketika itu pula di dalam persendiannya terdengar gemertak-gemertak seperti terjadi saling tarik kekuatan yang tersembunyi. Sehingga Mastery meregang-regang di atas pembaringan. Orang lain mungkin sudah tidak tahan mengalami kejadian yang seperti ini. Apakah ini yang dimaksud titisan sejak lahir" Atau karena ada roh kakeknya yang melapisi dari dalam"
Sampai siang, ia terbujur diam. Keringat mengalir dari kulitnya yang merah seperti dipanggang. Kedua sudut matanya mengeluarkan air yang panas.
Ketika itu pula terngiang suara perempuan di telinga Mastery.
"Bu____bu,... Bang Mas ada?"
"Mungkin masih tidur. Padahal tak pernah ia bangun sesiang ini," Bu Marnoum pemilik rumah indekost
menyambut Nelly Ngantung lalu membawanya ke depan pintu kamar Mastery.
"Bang____Bang Mas ... aku Nelly!"
Ketika pintu kamar dibukakan Nelly, Mastery masih dalam keadaan belum terbebas dari kekuatan yang akan membunuhnya. Matanya merah berair. Persendiannya lesu dan berat untuk digerakkan.
"Aduh, ... Nel, kok ada orang yang mau membunuhku!!!" desah suara Mastery dari atas pembaringan. "Aku takut, . .. ayahmu sangat membenciku!"
Nelly Ngantung mengusap kening Mastery. Dan mengatakan bahwa ia tahu ayahnya tidak menyukai hubungan mereka. Akan tetapi ia tak dapat mencurigai ayahnya melakukan perbuatan gaib untuk menyingkirkan orang yang sedang dicintainya. Perkenalan mereka aneh juga. Nelly yang sedang mengendarai Honda Cup, tersenggol Mastery yang akan memotong jalan. Stang Honda Nelly tertarik sebelah. Demikian besarnya benturan itu sehingga Nelly terlempar dengan kepalanya membentur dada Mastery. Kalau tidak begitu, ia tentu telah mencium aspal jalan.
Seharusnya Mastery juga terbanting ke belakang karena benturan itu. Akan tetapi nyatanya ia hanya tergoncang di tempatnya menjatuhkan langkah. Lalu dengan tidak banyak menggunakan tenaga, Mastery melempangkan kembali stang
Honda Cup dengan kedua lututnya menjepit roda depan kendaraan roda dua itu.
Mungkin Nelly terpukau kepada kesederhanaan tindakan laki-laki yang ditabraknya itu. Demikian kukuh menyambut dirinya yang jatuh ke dadanya. Demikian lembut pula ia meluruskan stang Honda Cup yang cukup parah bengkoknya.
Sepintas kilas, hatinya berbisik, "Inilah salah satu tipe laki-laki pelindung wanita."
"Ayo ... kutemani ke dokter," ajak Nelly.
"Jangan! .... Tidak, Nel, . . . aku tak pernah memerlukannya," desah suara Mastery, sambil menggeliatkan badannya.



No comments:

Post a Comment

Pages